Menumbuhkan Apresiasi

Hubungan anak-anak dan televisi memang belum tentu sehati. Namun keduanya hadir sebagai sebuah realitas. Akselerasi yang ditawarkan TV bersama format dan formasi acaranya berpengaruh langsung pada akselerasi tingkat kecerdasan, kreativitas, sosialisasi, dan pemaknaan nilai budaya pada diri anak.

Singkatnya, eksistensi TV telah jauh mengintervensi proses konsep diri dan pertumbuhan kepribadian anak-anak kita.

Fenomena ini dapat kita simak ketika TV cenderung menggeser peran guru. Guru tidak lagi dianggap”Dewa” pengetahuan dan sumber ilmu. Anak-anak telah terpikat dan begitu enjoy-nya belajar dengan si kotak ajaib ini. Padahal, orang tua masih sangat mengharapkan peran guru yang seutuhnya untuk mendidik putra putrinya.

Persoalannya, bisakah si layar kaca kita ini menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru secara realistis.
Sehingga anak-anak dapat berprilaku sesuai fakta sosial budaya di seklilingnya, serta tidak tertipu fatamorgana ilusi yang tidak akan pernah ada dalam kehidupan sehari-hari.

Hal inilah yang masih dan akan terus menjadi perdebatan. Di satu pihak berpendapat, perkembangan pertelevisian dewasa ini memiliki korelasi positif terhadap perkembangan pengetahuan dan informasi kepada anak.

Sisi lain mengatakan, karena format dan formasi acara TV cenderung mengobral adegan sadism, kekerasan, dan pornografi, maka media pandang dengar ini cenderung mempengaruhi anak-anak sehigga menyimpang dari tingkah laku normal, seperti konsumtif, brutal, suka kekerasan, dan tindakan negative lainnya.

Bukan tugas kita untuk mencari mana yang paling benar di antara dua pendapat yang kontradiktif ini. Tetapi yang paling bijak adalah mencari dan menemukan solusi yang bersifat teknis dan praktis, sehingga mudah direalisasikan untuk menyegah dampak negative siaran TV terhadap anak.

Sebab, di era boom TV seperti ini, suatu yang stupid dan nonsense jika orang tua melarang anak-anak untuk tidak menonton TV sebagai sumber informasi. Bisa-bisa generasi mendatang akan terbelakang.

Demikian pula, kita tidak boleh menutup mata dan menganggap sepele efek yang ditimbulkan oleh siaran TV. Sikap waspada dan jeli dalam memantau perkembangan hubungan anak dan TV sangat diperlukan.

Hal itu bertujuan untuk mendeteksi sedini mungkin gejala-gejala anak kita sudah sampai di hamparan wilayah alienasi diri. Wilayah keterasingan diri akibat dihadapkan pada perombakan tata nilai yang telah mendarah daging di masyarakat. Artinya, nilai anutan anak-anak kita akan berkomperasi, bahkan mengalami krisis, ketika berbenturan dengan nilai-nilai baru atau dianggap baru.

Sayangnya, untuk saat ini kita belum bisa mengharapkan terlalu banyak uluran tangan pihak TV untuk menemukan solusi masalah ini.(Awi Wiyono/Jawa Pos,4 Agustus 1993)


0 comments:

Post a Comment