Penampilan TVRI senantiasa rentan bagi tanggapan masyarakat, baik dalam bentuk kritik, saran,maupun pujian. Semuanya berdampak positif. Terlihat, dalam usianya yang ke-30 tahun, TVRI telah melangkah lebih maju dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Paket-paket siaran yang disajikan telah membuat pemirsa tak kuasa mengalihkan ke saluran atau programa televisi lain. TVRI telah menjadi media alternative bagi masyarakat di negeri tercinta ini.
Sesuatu yang patut disyukuri. Namun bersyukur bukan berarti berpuas diri. Tetapi harus berusaha memacu untuk tampil lebih
Paket-paket siaran yang disajikan telah membuat pemirsa tak kuasa mengalihkan ke saluran atau programa televisi lain. TVRI telah menjadi media alternative bagi masyarakat di negeri tercinta ini.
Sesuatu yang patut disyukuri. Namun bersyukur bukan berarti berpuas diri. Tetapi harus berusaha memacu untuk tampil lebih
baik lagi. Apabila menengok problema yang sedang dihadapi saat ini, TVRI tidak pantas bersantai-santai. Persaingan yang dibungkus dengan terminologi kemitraan dengan televisi semakin sengit. Terobosan-terobosan yang dilakukan oleh TV swasta bisa menjadi ancaman TVRI.
Saat ini paket siaran yang menjadi primadona TVRI juga telah diproduksi oleh TV swasta. Sinetron yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, dan TPI tidak kalah bagus dibandingkan dengan yang disajikan oleh TVRI. Ini baru dua TV swasta. Belum jika TV swasta-TV swasta di beberapa daerah terealisasi. Ditambah dengan semakin menjamurnya antenna parabola yang memungkinkan menangkap siaran dari Negara lain. Untuk menjaga eksistensi dirinya, TVRI harus mampu mengantisipasi fenomena ini.
Mencari dan membuat pemirsa untuk tidak meninggalkan program siaran yang disajikan adalah menjadi masalah pokok dalam dunia pertelevisian. Key succesfull factor-nya terdapat dalam kualitas paket siaran yang ditayangkan. Maka setiap TV harus meningkatkan kualitas program siarannya. Dan, syarat pokok untuk bisa meningkatkan kualitas acaranya itu tadi perlu dana. Faktor ini yag sering menjadi masalah.
Masalah dana bagi TV swasta tidak terlalu memusingkan. Sebagai lembaga yang berorientasi komersial, mereka cukup mengandalkan iklan-iklan yang masuk pada dirinya. Tetapi, bagi TVRI adalah masalah besar. Selain tidak menerima iklan, anggaran dari Negara masih dari mencukupi.
Payahnya lagi, dalam mengumpulkan pajak/iuran TV sering kali tidak beres. Ingat kasus PT Mekatama Raya. Akhirnya, penanganan dipegang sendiri oleh Yayasan TVRI. Ini pun masih timbul keraguan akan keberhasilannya.
Bercermin dari persoalan itu, ada benarnya uraian Bagong Suyanto. Ia mengatakan, posisi TVRI di simpang jalan, karena TVRI dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama membawa konskuensi yang kurang mengenakan. Yakni, TVRI tetap mempertahankan atau bahkan meningkat kualitas program siarannya seperti selama ini dilakukan atau menurunkan mutu siarannya yang berate menggunakan cara lama, yang secara umum didominasi dengan paket-paket monoton, sifatnya top down, dan hanya menjadi corong pemerintah (JP,26/08/92).
Kejelian dan kecermatan dalam melakukan pilihan sangat diperlukan. Karena keduanya membawa resiko, tidak ada jeleknya bila melakukan kalkulasi, yakni menghitung untung rugi jika memilih satu diantara dua tadi.
Menurut hemat penulis, dengan pertimbangan kondisi pertelevisian di Indonesia serta mengevaluasi keberhasilan TVRI dalam memikat pemirsa selama ini, TVRI akan lebih beruntung jika tetap mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas acara-acaranya.
Sebab selama ini, meski diselimuti permasalahan dana yang tidak kunjung reda, ternyata TVRI masih mampu berprestasi. Karena itu, jika TVRI kembali pada cara lama, berarti menggali kuburannya sendiri, TVRI siap mati.
Tidak semudah yang kita bayangkan memang. Masih terlalu banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi TV milik pemerintah ini. Salah satunya, seperti yang telah disinggung oleh Eduard Depari dan Effendi Gazali tentang status TVRI yang masih membingungkan.
Saat ini TVRI sebagai yayasan di samping sebagai direktorat. Menurut uraian pakar komunikasi ini, TVRI akan lebih professional jika dalam bentuk yayasan. Sebab, peluang pengoperasiannya lebih besar. Bisa mengelola sumber keuangannya sendiri, serta dapat memperhitungkan rekrutmen personalia yang pas (JP/27/08/92).
Bila kita intepretasikan pernyataan itu bahwa TVRI harus diberi kebebasan dalam mengelola paket-paket acaranya, manajemen, dan keuangannya. TVRI berubah mnjadi yayasan murni. Berarti juga menjadi lembaga milik swasta. Penulis kira, itu semua masih menjadi impian belaka.(Awi Wiyono/Jawa Pos,2 September 1992)
Saat ini paket siaran yang menjadi primadona TVRI juga telah diproduksi oleh TV swasta. Sinetron yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, dan TPI tidak kalah bagus dibandingkan dengan yang disajikan oleh TVRI. Ini baru dua TV swasta. Belum jika TV swasta-TV swasta di beberapa daerah terealisasi. Ditambah dengan semakin menjamurnya antenna parabola yang memungkinkan menangkap siaran dari Negara lain. Untuk menjaga eksistensi dirinya, TVRI harus mampu mengantisipasi fenomena ini.
Mencari dan membuat pemirsa untuk tidak meninggalkan program siaran yang disajikan adalah menjadi masalah pokok dalam dunia pertelevisian. Key succesfull factor-nya terdapat dalam kualitas paket siaran yang ditayangkan. Maka setiap TV harus meningkatkan kualitas program siarannya. Dan, syarat pokok untuk bisa meningkatkan kualitas acaranya itu tadi perlu dana. Faktor ini yag sering menjadi masalah.
Masalah dana bagi TV swasta tidak terlalu memusingkan. Sebagai lembaga yang berorientasi komersial, mereka cukup mengandalkan iklan-iklan yang masuk pada dirinya. Tetapi, bagi TVRI adalah masalah besar. Selain tidak menerima iklan, anggaran dari Negara masih dari mencukupi.
Payahnya lagi, dalam mengumpulkan pajak/iuran TV sering kali tidak beres. Ingat kasus PT Mekatama Raya. Akhirnya, penanganan dipegang sendiri oleh Yayasan TVRI. Ini pun masih timbul keraguan akan keberhasilannya.
Bercermin dari persoalan itu, ada benarnya uraian Bagong Suyanto. Ia mengatakan, posisi TVRI di simpang jalan, karena TVRI dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama membawa konskuensi yang kurang mengenakan. Yakni, TVRI tetap mempertahankan atau bahkan meningkat kualitas program siarannya seperti selama ini dilakukan atau menurunkan mutu siarannya yang berate menggunakan cara lama, yang secara umum didominasi dengan paket-paket monoton, sifatnya top down, dan hanya menjadi corong pemerintah (JP,26/08/92).
Kejelian dan kecermatan dalam melakukan pilihan sangat diperlukan. Karena keduanya membawa resiko, tidak ada jeleknya bila melakukan kalkulasi, yakni menghitung untung rugi jika memilih satu diantara dua tadi.
Menurut hemat penulis, dengan pertimbangan kondisi pertelevisian di Indonesia serta mengevaluasi keberhasilan TVRI dalam memikat pemirsa selama ini, TVRI akan lebih beruntung jika tetap mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas acara-acaranya.
Sebab selama ini, meski diselimuti permasalahan dana yang tidak kunjung reda, ternyata TVRI masih mampu berprestasi. Karena itu, jika TVRI kembali pada cara lama, berarti menggali kuburannya sendiri, TVRI siap mati.
Tidak semudah yang kita bayangkan memang. Masih terlalu banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi TV milik pemerintah ini. Salah satunya, seperti yang telah disinggung oleh Eduard Depari dan Effendi Gazali tentang status TVRI yang masih membingungkan.
Saat ini TVRI sebagai yayasan di samping sebagai direktorat. Menurut uraian pakar komunikasi ini, TVRI akan lebih professional jika dalam bentuk yayasan. Sebab, peluang pengoperasiannya lebih besar. Bisa mengelola sumber keuangannya sendiri, serta dapat memperhitungkan rekrutmen personalia yang pas (JP/27/08/92).
Bila kita intepretasikan pernyataan itu bahwa TVRI harus diberi kebebasan dalam mengelola paket-paket acaranya, manajemen, dan keuangannya. TVRI berubah mnjadi yayasan murni. Berarti juga menjadi lembaga milik swasta. Penulis kira, itu semua masih menjadi impian belaka.(Awi Wiyono/Jawa Pos,2 September 1992)
2 comments:
wah ...
artikel nya bagus, saya lg nyari bahan utk skripsi dan artikel ini membantu sekali :D
oke, thanks ya apresiasinya.
Post a Comment