Sesaat setelah membaca dan mencermati tulisan Awaludin Djamin dan Anton Tabah tentang otonomi Polri (JP,26-27/2/1993), saya dihidangkan berita di halaman 2 Jawa Pos dengan judul yang sensasional: Lempar Petasan dan Batu ke Polisi serta Lemparkan Petasan dan Tabrak Polisi.
Berita ini melaporkan peristiwa kebrutalan penonton dan pembalap liar (trek-trekan) di Jalan Dupak, Jalan Mayjen Sungkono, Jalan Ngagel Jaya, dan Jalan Dharmawangsa Surabaya. Penonton dan pembalap liar mengganggu pengguna jalan yang melewati jalan-jalan tersebut dengan melempari petasan.
Lebih memprihatinkan adalah petugas kepolisian yang bertugas di jalan-jalan itu juga dilempari petasan, kayu, dan batu.
Berita ini melaporkan peristiwa kebrutalan penonton dan pembalap liar (trek-trekan) di Jalan Dupak, Jalan Mayjen Sungkono, Jalan Ngagel Jaya, dan Jalan Dharmawangsa Surabaya. Penonton dan pembalap liar mengganggu pengguna jalan yang melewati jalan-jalan tersebut dengan melempari petasan.
Lebih memprihatinkan adalah petugas kepolisian yang bertugas di jalan-jalan itu juga dilempari petasan, kayu, dan batu.
Bahkan di Jalan Dupak, seorang pembalap liar nekat menabrak Polantas yang berjaga di barat Pasar Turi. Dari peristiwa ini, 121 pembakar dan pengedar petasan diamankan.
Dari berita itu, saya dihadapkan dua moment yang kontradiktif. Di satu pihak, kita disibukkan permasalahan otonomi Polri, yaitu membahas bagaimana meningkatkan serta mengembalikan citra polisi yang saat ini sedang jatuh.
Bagaiman kita menumbuhkan sikap masyarakat agar selalu positive thinking terhadap polisi, mengusahakan agar segala program budaya dalam memantapkan pendekatan polisi dan masyarakat benar-benar dapat diterima.
Di pihak lain, kita disuguhi drama satu babak pelecehan dan penghinaan martabat dan citra polisi yang dilakukan oleh arek-arek Suroboyo yang terkenal keberingasannya. Saya tidak tahu mengapa mereka sampai nekat berbuat seperti itu. Mungkinkah mereka tidak perlu polisi lagi?
Tentu ini sebuah pemikiran yang konyol. Tetapi yang jelas, perbuatan arek-arek Suroboyo itu salah satu contoh kasus pelecehan martabat dan citra polisi. Tentu saja, itu sebuah tindakan yang tidak terpuji dan melanggar peraturan. Ini harus segera dihentikan!
Lalu, apakah peran otonomi Polri nanti dapat menyelesaikan masalah perbaikan citra polisi saat ini? Pasti, jawabanya bisa ya dan tidak. Dan yang jelas, saya mendukung ide otonomi Polri ini.
Artinya, otonomi Polri ini kita sepakati sebagai langkah awal bagi kemandirian Polri. Karena merupakan kemandirian, diperlukan sebuah kebebasan untuk melakukan segala kebijaksanaannya yang dianggap perlu. Misalnya masalah anggaran, personel, sistem rekrutmen, dan sistem pendidikan. Ini mungkin sesuai dengan apa yang dimaksud Awaludin Djamin sebagai pemberian sarana itu.
Dari sinilah nantinya, proses perbaikan manajemen organisasi kepolisian akan segera terealisasi. Perbaikan kualitas manajemen organisasi ini memang sangat mendesak. Sebab, selama ini yang sering mendapat sorotan dari khalayak adalah lemahnya sistem menajemen organisasi kepolisian.
Indikasinya adalah aktualitas manajerial pada strata atas tidak mampu melakukan pengendalian atau menerapkan disiplin pada para anggota yang berada di strata bawah yang secara ekonomi memang rawan. Hal ini harus segera dihilangkan, sehingga arah profesionalisme polisi kita terasa diambang pintu.
Kemudian, agar organisasi kepolisian kita menjadi kuat, proses rekrutmen personelnya harus benar-benar professional. Setiap personel polisi hasil rekrutmen tadi harus memiliki motivasi yang baik (well motivated) dan pengalaman pendidikan yang baik. Dari sudut pandang inilah otonomi Polri akan dapat mencapai sasarannya.
Namun masih ada faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya otonomi Polri, yakni faktor yang bersifat eksternal. Faktor prilaku masyarakat yang mendorong terjadinya ketidakdisiplinan polisi. Banyak pengaruh pengetahuan subjektif yang sering negative thinking terhadap performance (kinerja) polisi sehari-hari. Sebagai akibatnya, banyak terjadi terjadi penyelesaian pintas (menyogok) setiap ada masalah pelanggaran. Nah, hal ini harus dihindari.
Yang juga tidak boleh ditinggalkan adalah faktor birokrasi. Aparat birokrasi harus mempunyai persepsi yang baik terhadap masalah-masalah kamtibmas pada umumnya dan masalah kepolisian pada khususnya. (Awi Wiyono/Jawa Pos, 8 Maret 1993)
Dari berita itu, saya dihadapkan dua moment yang kontradiktif. Di satu pihak, kita disibukkan permasalahan otonomi Polri, yaitu membahas bagaimana meningkatkan serta mengembalikan citra polisi yang saat ini sedang jatuh.
Bagaiman kita menumbuhkan sikap masyarakat agar selalu positive thinking terhadap polisi, mengusahakan agar segala program budaya dalam memantapkan pendekatan polisi dan masyarakat benar-benar dapat diterima.
Di pihak lain, kita disuguhi drama satu babak pelecehan dan penghinaan martabat dan citra polisi yang dilakukan oleh arek-arek Suroboyo yang terkenal keberingasannya. Saya tidak tahu mengapa mereka sampai nekat berbuat seperti itu. Mungkinkah mereka tidak perlu polisi lagi?
Tentu ini sebuah pemikiran yang konyol. Tetapi yang jelas, perbuatan arek-arek Suroboyo itu salah satu contoh kasus pelecehan martabat dan citra polisi. Tentu saja, itu sebuah tindakan yang tidak terpuji dan melanggar peraturan. Ini harus segera dihentikan!
Lalu, apakah peran otonomi Polri nanti dapat menyelesaikan masalah perbaikan citra polisi saat ini? Pasti, jawabanya bisa ya dan tidak. Dan yang jelas, saya mendukung ide otonomi Polri ini.
Artinya, otonomi Polri ini kita sepakati sebagai langkah awal bagi kemandirian Polri. Karena merupakan kemandirian, diperlukan sebuah kebebasan untuk melakukan segala kebijaksanaannya yang dianggap perlu. Misalnya masalah anggaran, personel, sistem rekrutmen, dan sistem pendidikan. Ini mungkin sesuai dengan apa yang dimaksud Awaludin Djamin sebagai pemberian sarana itu.
Dari sinilah nantinya, proses perbaikan manajemen organisasi kepolisian akan segera terealisasi. Perbaikan kualitas manajemen organisasi ini memang sangat mendesak. Sebab, selama ini yang sering mendapat sorotan dari khalayak adalah lemahnya sistem menajemen organisasi kepolisian.
Indikasinya adalah aktualitas manajerial pada strata atas tidak mampu melakukan pengendalian atau menerapkan disiplin pada para anggota yang berada di strata bawah yang secara ekonomi memang rawan. Hal ini harus segera dihilangkan, sehingga arah profesionalisme polisi kita terasa diambang pintu.
Kemudian, agar organisasi kepolisian kita menjadi kuat, proses rekrutmen personelnya harus benar-benar professional. Setiap personel polisi hasil rekrutmen tadi harus memiliki motivasi yang baik (well motivated) dan pengalaman pendidikan yang baik. Dari sudut pandang inilah otonomi Polri akan dapat mencapai sasarannya.
Namun masih ada faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya otonomi Polri, yakni faktor yang bersifat eksternal. Faktor prilaku masyarakat yang mendorong terjadinya ketidakdisiplinan polisi. Banyak pengaruh pengetahuan subjektif yang sering negative thinking terhadap performance (kinerja) polisi sehari-hari. Sebagai akibatnya, banyak terjadi terjadi penyelesaian pintas (menyogok) setiap ada masalah pelanggaran. Nah, hal ini harus dihindari.
Yang juga tidak boleh ditinggalkan adalah faktor birokrasi. Aparat birokrasi harus mempunyai persepsi yang baik terhadap masalah-masalah kamtibmas pada umumnya dan masalah kepolisian pada khususnya. (Awi Wiyono/Jawa Pos, 8 Maret 1993)
0 comments:
Post a Comment