Tantangan yang akan dihadapi pembangunan jangka panjang tahap II akan semakin berat dan sangat kompleks. Kenyataan ini sesuai dengan sifat era modernisasi di segala bidang yang saat ini sedang dan akan terus berlangsung.
Penerapan strategi pembangunan tidak hanya tertumpu pada satu pokok bidang saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hankam. Seluruh bidang ini relative minta waktu bersamaan dalam merealisasikannya.
Bidang-bidang itu merupakan simpul-simpul yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebab antara yang satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi. Dan hasil paduan yang ideal adalah terciptanya stabilitas nasional.
Namun realita tidaklah sesederhana dan semudah itu. Sering kita dihadapkan pada ketimpangan-ketimpangan yang…
Penerapan strategi pembangunan tidak hanya tertumpu pada satu pokok bidang saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hankam. Seluruh bidang ini relative minta waktu bersamaan dalam merealisasikannya.
Bidang-bidang itu merupakan simpul-simpul yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebab antara yang satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi. Dan hasil paduan yang ideal adalah terciptanya stabilitas nasional.
Namun realita tidaklah sesederhana dan semudah itu. Sering kita dihadapkan pada ketimpangan-ketimpangan yang…
memunculkan berbagai konflik. Dan karena makronya permasalahan ini, saya akan membahas tulisan ini pada masalah sosial politik saja.
Pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) yang segera kita masuki ini tidak bisa lepas dari belitan masalah klasik, tetapi selalu relevan dengan masalah-masalah pembangunan nasional, yakni masalah disparitas, kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pemerataan masih menjadi persoalan krusial. Walaupun persoalan ini di era 1970-an juga ramai didiskusikan, namun wujud realisasinya belum menggembirakan. Pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya belum sesuai dengan konsep yang ada di GBHN.
Sebagai contoh, adanya produk domestik bruto Indonesia yang menumpuk pada segelintir orang. Sehingga tingginya angka GNP yang sering ditayangkan TVRI menjelang atau sesudah berita, belum bisa menjadi kartu as bagi terjaminnya kesejahteraan setiap lapisan masyarakat.
Dr Sri Bintang Pamungkas, dari Komisi APBN DPR Pusat mengungkapkan, 50 orang yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulya menguasai perputaran barang dan jasa kurang lebih 83% dari total nilai APBN kita.
Jumlah omset yang menumpuk sekitar Rp52 triliun. Bila diasumsikan bahwa produk domestik bruto Indonesia sekitar Rp216 triliun, berarti 50 orang pengusaha besar ini menguasai pangsa nasional sebesar 26%. (Tempo No.3 Tahun XXIII, 20 Maret 1993).
Dengan berefrensi dari data ungkapan doctor lulusan Iowa State University USA itu, kita dengan gamblang mendapatkan gambaran betapa besar kemungkinan terjadinya disparitas sosial ekonomi masyarakat.
Kesenjangan sosial ini akan terjadi antara sekelompok kecil minoritas penguasa sumber ekonomi dan 27 juta rakyat yang kesejahteraannya sangat menggenaskan. Belum jika dikaitkan dengan berpuluh juta rakyat yang telah sedikit merasakan kesejahteraan, tetapi masih rawan akan kemiskinan. Diperlengkap dengan semakin membengkaknya pengangguran, baik yang kentara maupun tidak. Tentu hal ini menjadi dilema akut PJPT II.
Persoalannya, seperti peringatan Clifford Gerrtz melalui tulisannya: The Integrative Revolution: Primordial Sentimen and Civil Politics in The New State, bahwa ketimpangan yang serius yang dialami negara-negara baru, termasuk Indonesia, akan memperburuk proses integrasi bangsa.
Semakin parah bila ikatan-ikatan primordial bermunculan. Persoalan kesukuan, ras, bahasa, kedaerahan, agama, kebiasaan, atau ikatan-ikatan primordial lainnya akan menjadi biang keladi mandeknya pembangunan. Sebab, tidak mustahil kondisi itu akan menciptakan adanya jarak antar suku (ethnic distance) atau prasangka sosial (social prejudice). Padahal unsur komunikasi dalam proses pembangunan mutlak diperlukan.
Apakah dalam PJPT II nanti Indonesia akan terwabahi persoalan krusial ini? Jawabnya bisa ya, jika tidak sedini mungkin diantisipasi bangkitnya primordialisme. Sebab semakin modern sebuah Negara, semakin mempunyai kecenderungan membangkitkan primordialisme.
Dalam masyarakat modern, persoalan persaingan loyalitas adalah hal uang lumrah. Baik itu yang berdimensi horizontal (loyalitas kepada bangsa sebagai suatu kesatuan) maupun yang berdimensi vertical (kesetiaan terhadap kelas, partai, kelompok kerja profesi, dsb). Yang jelas, bila kedua dimensi loyalitas itu sampai pada taraf konflik akan ada konsekuensi yang tidak mengenakan, yaitu jika tidak terancamnya integrasi bangsa, paling buruk terjadi revolusi.
Karena itu, setelah mengetahui bahwa modernisasi lebih cenderung membangkitkan primordialisme, bangsa Indonesia yang hingga saat ini belum final dalam proses integrasi bangsa dan sekaligus disibukan oleh masalah internasionalisasi, harus menciptakan kiat untuk mengatasi dilema krusial ini.
Adapun salah satu alternative yang harus diambil adalah melakukan suatu perubahan dan pembaruan terhadap sumber-sumber kekuatan bangsa kita. Sumber kekuatan ini salah satunya adalah kualitas professional SDM harus benar-benar dijalankan.
Caranya, mempertahankan dan meningkatkan komitmen kultural kita untuk hidup sebagai bangsa yang utuh, yang berorientasi pada kemajuan bersama lewat proses berencana secara rasional, adil, dan beradab. Sehingga, dalam PJPT II ini Indonesia tetap jaya. Dan pemerataan bukanlah suatu yang utopia!(Awi Wiyono/Jawa Pos, Maret 1993)
Pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) yang segera kita masuki ini tidak bisa lepas dari belitan masalah klasik, tetapi selalu relevan dengan masalah-masalah pembangunan nasional, yakni masalah disparitas, kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pemerataan masih menjadi persoalan krusial. Walaupun persoalan ini di era 1970-an juga ramai didiskusikan, namun wujud realisasinya belum menggembirakan. Pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya belum sesuai dengan konsep yang ada di GBHN.
Sebagai contoh, adanya produk domestik bruto Indonesia yang menumpuk pada segelintir orang. Sehingga tingginya angka GNP yang sering ditayangkan TVRI menjelang atau sesudah berita, belum bisa menjadi kartu as bagi terjaminnya kesejahteraan setiap lapisan masyarakat.
Dr Sri Bintang Pamungkas, dari Komisi APBN DPR Pusat mengungkapkan, 50 orang yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulya menguasai perputaran barang dan jasa kurang lebih 83% dari total nilai APBN kita.
Jumlah omset yang menumpuk sekitar Rp52 triliun. Bila diasumsikan bahwa produk domestik bruto Indonesia sekitar Rp216 triliun, berarti 50 orang pengusaha besar ini menguasai pangsa nasional sebesar 26%. (Tempo No.3 Tahun XXIII, 20 Maret 1993).
Dengan berefrensi dari data ungkapan doctor lulusan Iowa State University USA itu, kita dengan gamblang mendapatkan gambaran betapa besar kemungkinan terjadinya disparitas sosial ekonomi masyarakat.
Kesenjangan sosial ini akan terjadi antara sekelompok kecil minoritas penguasa sumber ekonomi dan 27 juta rakyat yang kesejahteraannya sangat menggenaskan. Belum jika dikaitkan dengan berpuluh juta rakyat yang telah sedikit merasakan kesejahteraan, tetapi masih rawan akan kemiskinan. Diperlengkap dengan semakin membengkaknya pengangguran, baik yang kentara maupun tidak. Tentu hal ini menjadi dilema akut PJPT II.
Persoalannya, seperti peringatan Clifford Gerrtz melalui tulisannya: The Integrative Revolution: Primordial Sentimen and Civil Politics in The New State, bahwa ketimpangan yang serius yang dialami negara-negara baru, termasuk Indonesia, akan memperburuk proses integrasi bangsa.
Semakin parah bila ikatan-ikatan primordial bermunculan. Persoalan kesukuan, ras, bahasa, kedaerahan, agama, kebiasaan, atau ikatan-ikatan primordial lainnya akan menjadi biang keladi mandeknya pembangunan. Sebab, tidak mustahil kondisi itu akan menciptakan adanya jarak antar suku (ethnic distance) atau prasangka sosial (social prejudice). Padahal unsur komunikasi dalam proses pembangunan mutlak diperlukan.
Apakah dalam PJPT II nanti Indonesia akan terwabahi persoalan krusial ini? Jawabnya bisa ya, jika tidak sedini mungkin diantisipasi bangkitnya primordialisme. Sebab semakin modern sebuah Negara, semakin mempunyai kecenderungan membangkitkan primordialisme.
Dalam masyarakat modern, persoalan persaingan loyalitas adalah hal uang lumrah. Baik itu yang berdimensi horizontal (loyalitas kepada bangsa sebagai suatu kesatuan) maupun yang berdimensi vertical (kesetiaan terhadap kelas, partai, kelompok kerja profesi, dsb). Yang jelas, bila kedua dimensi loyalitas itu sampai pada taraf konflik akan ada konsekuensi yang tidak mengenakan, yaitu jika tidak terancamnya integrasi bangsa, paling buruk terjadi revolusi.
Karena itu, setelah mengetahui bahwa modernisasi lebih cenderung membangkitkan primordialisme, bangsa Indonesia yang hingga saat ini belum final dalam proses integrasi bangsa dan sekaligus disibukan oleh masalah internasionalisasi, harus menciptakan kiat untuk mengatasi dilema krusial ini.
Adapun salah satu alternative yang harus diambil adalah melakukan suatu perubahan dan pembaruan terhadap sumber-sumber kekuatan bangsa kita. Sumber kekuatan ini salah satunya adalah kualitas professional SDM harus benar-benar dijalankan.
Caranya, mempertahankan dan meningkatkan komitmen kultural kita untuk hidup sebagai bangsa yang utuh, yang berorientasi pada kemajuan bersama lewat proses berencana secara rasional, adil, dan beradab. Sehingga, dalam PJPT II ini Indonesia tetap jaya. Dan pemerataan bukanlah suatu yang utopia!(Awi Wiyono/Jawa Pos, Maret 1993)
0 comments:
Post a Comment