Bila suatu bangsa terbelakang itu dikarenakan inferioritas nilainya dalam berhadapan dengan tantangan zaman tidak siap atau tidak memadainya fungsi kebudayaan sebagai sistem nilai untuk menghadapi modernitas, bisa diartikan bahwa kebudayaan itu sebagai alat untuk mencapai kemajuan.
Statment di atas adalah salah satu penilaian terhadap kebudayaan. Tetapi, penilaian itu ditolak
oleh Mochtar Pabotinggi dalam Kebudayaan Bukanlah Terdakwa: kita sudah waktunya menanggalkan segala macam tesis yang memperlakukan kebudayaan sebagai satu-satunya variable independen bagi keterbelakangan atau kemajuan bangsa. Eskapisme intelektual seperti itu tidak akan menguntungkan siapa pun, sebab ia tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kebudayaan adalah suatu dinamik yang tiada hentinya berubah, dan mencari alternatif-alternatif baru. Apalagi kalau kita berbicara tentang kebudayaan yang memang telah berkiprah secara global. Terutama, dalam revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang kini sedang berlangsung.
Yang menjadi persoalan, sudahkah kita siap dan mampu menerima arus informasi dari berbagai bangsa asing. Untuk keluarga sekarang bisa mendapatkan informasi dari berbagai Negara dengan hanya memutar-mutar saluran televisi yang berantena parabola. Padahal, di dalam informasi yang diterimanya mengandung nilai-nilai asing yang dengan pasti mengandung sifat subversive.Sebenarnya, tidak perlu dikhawatirkan bila mereka bisa memfilternya, sehingga sistem nilai-nilai asing tadi tidak mencekoki jiwa kita.
Kita tidak mau diatur oleh kebudayaan, tetapi kitalah yang seharusnya mengatur kebudayaan. Bukan kebudayaan yang bisa menyebabkan maju mundurnya suatu bangsa, tetapi yang menciptakan kebudayaan itu sendirilah yang menentukan maju mundurnya suatu bangsa.
Demikian juga dengan bangsa Indonesia, harus menciptakan kebudayaan yang cocok dengan kondisinya. Dalam menciptakan inilah akan muncul berbagai macam pandangan tentang kebudayaan nasional yang diinginkan.
Pada tahun tiga puluhan juga terjadi pertentangan pandangan, yakni erat sangkut pautnya dengan jiwa atau nation Indonesia. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur kebudayaan yang kini merupakan kebudayaan universal, yakni kebudayaan barat.
Unsur-unsur kebudayaan Barat yang terpenting untuk mengkreasikan kebudayaan Indonesia baru adalah teknologi, orientasi ekonomi, keterampilan berorganisasi secara luas dan ilmu pengetahuan.
Tentu saja pandangan ini dianggap terlalu ekstrem berorientasi ke materialism, intelektualisme, dan individualism. Orang yang mengecap demikian itu yang mempunyai pandangan bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Timur yang harus mementingkan kerohanian, perasaan, dan gotong royong. Sehingga tidak memutuskan kontinyuitas sejarahnya untuk dapat masuk ke zaman Indonesia baru.
Orang Indonesia harus mempelajari sejarah dan sejarah kebudayaannya, karena dengan mempelajari kebudayaan masa lalu ia akan dapat membangun kebudayaan baru.
Sebernarnya terlepas dari dua masalah tadi, kita masih disibukan oleh sikap-sikap yang berorientasi primordial yang kuat, dalam hal ini sama dengan orientasi subkultur yang kuat. Loyalitas primordial biasanya mengalahkan kepentingan nasional.
Dari keterangan di atas akhirnya kita tidak bisa memungkiri bahwa pada akhirnya kebudayaan kita adalah kebudayaan baur (blurred culture). Yakni, kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya sub budaya Jawa, adalah adonan kebudayaan-kebudayaan dunia.
Sekarang tinggal bagaimana kita mengomunikasikan semua itu kepada masyarakat Indonesia yang beranekaragam tadi. Salah satu jalannya adalah kebudayaan Indonesia kita fungsikan sebagai wahana komunikasi.
Bukankah unsur-unsurnya telah ada di dalam Negara kita? Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, pengelolaan gaya Indonesia yakni di bidang politik prinsip demokrasi harus dijalankan sungguh-sungguh. Di bidang ekonomi, prinsip koperasi harus diberi kedudukan sentral, bukan peripheral. (Awi Wiyono/Jawa Pos, 18 Oktober 1991)
0 comments:
Post a Comment