TV Nasional: Bisnis Hiburan Yang Memaksakan Diri (2)

Realitas Tontonan
Pertanyaannya kemudian adalah sebenarnya realitas siaran macam yang ditawarkan TV nasional kita? Menanggapi realitas budaya pertelevisian nasional yang diujungtombaki oleh masyarakat pekerja TV ini, dosen Fakultas Sastra UI Tommy F. Awuy pernah mengatakan bahwa motif imaji estetik telah menjadi sebuah kultur dominan dari dunia informasi, mendepak rasionalitas yang memilah-milah setiap wilayah kehidupan.

Sehingga, keindahan, kesenangan, dan prestise merupakan unsur yang sangat penting untuk dimiliki, dan kesemuanya itu jelas merupakan citra imajinatif. Logikanya cenderung mengacu pada kebutuhan selera bermain (game) yang mengedepankan nuansa puitika daripada politis.

Jelasnya, realitas tayangan TV nasional adalah realitas tontonan atau permainan, yakni realitas yang merupakan bentuk kenyataan sosial hasil rekayasa manusia untuk tujuan tertentu, baik yang sifatnya menghibur, unjuk kreativitas, maupun pertandingan. Contohnya film, lagu, sinetron, dan olah raga sepak bola.

Kenyataan itu terbaca dari porsi tayangan hiburan yang mencapai 80% dibanding jenis program pendidikan dan informasi. Dari semua jenis semua siaran hiburan ini ternyata film, sinetron, dan sejenisnya merupakan jenis hiburan yang paling banyak ditayangkan TV nasional, yakni mencapai 84,3% dari durasi siarannya.

Sebenarnya, dominasi hiburan dalam siaran TV adalah wajar. Pertelevisian dimanapun mengalami hal ini. Sampai-sampai Niel Postman (1995) –Guru Besar Ilmu Komunikasi New York University- berpendapat bahwa hiburan merupakan supra ideologi segala diskursus dalam pertelevisian. Tidak peduli apa yang ditayangkan dan melalui sudut pandang mana. Alasannya adalah semua itu ditayangkan untuk menghibur dan menyenangkan penontonnya.

Sehingga ada suatu kecenderungan untuk selalu mengaktualisasikan TV sebagai fungsi hiburan. Apapun yang disajikan TV akan selalu dipersepsikan sebagai hiburan oleh pemirsanya. Oleh karena itu, timbul pemikiran apa pun yang disiarkan harus selalu entertaining. Menghibur!

Hanya masalahnya, sudahkan siaran hiburan TV kita sesuai dengan dengan yang diharapkan? Sudahkan realitas siaran hiburan TV kita berkualitas, sehingga selain dapat menghibur sekaligus juga mampu memberikan tuntunan? Sudahkan kompetitif dan laku dijual?

Memaksakan Diri
Jawabnya ternyata belum. Begitu setidaknya menurut sebagian orang. Ashadi Siregar –dosen Ilmu Komunikasi UGM- pernah mengatakan, kualitas produk siaran lokal sangat memprihatinkan. Ia menyebut produk lokal bagaikan jajanan pasar tradisional. Sedangkan siaran produk impor bagaikan jajanan di super market yang sudah terkemas baik, prestisius, dan terjamin mutunya. Wajar jika siaran produk impor laku dipasaran, sekaligus membuat produk lokal terjungkal.

Tidak aneh bila kemudian pengelola TV menjadik produk impor, film, musik dan paket-paket marketable lain, sebagai acara unggulan. Produk impor pun menjadi sangat mendominasi siaran TV nasional. Perbandingannya 80:20 untuk produk impor.

Melihat kenyataan itu, kita tidak boleh langsung menghujat. Siapa tahu mereka termasuk orang-orang yang memiliki “nasionalisme baru”. Apalagi logika dagang juga membenarkan. Mana ada orang bisnis mau rugi. Biaya produksi lokal jauh lebih mahal dibanding membeli produk impor. Sekedar contoh, satu episode produk lokal membutuhkan biaya Rp50juta. Uang sebanyak ini jika dibelikan produk impor sudah mendapatkan lebih dari sebuah tayangan dengan kualitas baik.

Sayangnya mereka terlena. Terlalu banyak keuntungan sehingga lupa bahwa mengandalkan produk impor tidak selamanya enak. Saat turun “perintah” agar porsi siaran lokal lebih banyak dari siaran impor, dengan perbandingan 80:20, mereka tersentak. Terlalu berat. Para pengelola TV tidak siap. Mungkin karena takut, “perintah” itu pun tetap dilaksanakan.

Hasilnya di luar dugaan. 70:30 untuk produk lokal. Selangkah lagi selesai, kata pengelola TV. Namun setelah diteliti, sangat mencengangkan. Ternyata produk-produk impor yang di-dubbing ke dalam bahasa Indonesia dikategorikan produk lokal. Pantas saja hampir dapat mencapai target. Salut sekaligus prihatin!

Sejenak pengelola TV bisa menikmati hasil kecerdikannya. Saat R Hartono menjadi Menteri Penerangan, pengelola TV kembali tersentak, karena TV dilarang men-dubbing film atau produk impor lainnya.

Mendapat tekanan seperti itu, Ishadi SK mencoba minta toleransi.”Keputusan melarang dubbing sebaiknya ditunda dulu. Kami, maksudnya TV swasta, belum siap,” kata Ishadi. Maklum, mungkin saja saat ini persedia film-film India atau telenovela Amerika Latin, Jepang, dan lain-lain, menumpuk digudang dan siap on air. Jika dilarang, keuntungan yang sudah di depan mata kabur lagi. Jadi rugi. Bisa-bisa bangkurt bung!

Menanggapi realitas ala main kancil ini, pakar komunikasi UI Prof. M Budyatna menghujat. “Salah sendiri, mengapa pekerja dan pembuat kebijakan TV tidak menyiapkan diri sejak awal. Waktu yang 25 tahun itu untuk apa? Mengapa tidak untuk menyiapkan SDM?”

Memang terlalu memaksakan diri. Bisa dibayangkan dalam waktu 5 tahun langsung muncul 5 TV swasta. Wajar jika SDM-nya keteter. Seharusnya sebelum TV swasta muncul harus sudah ada lembaga pendidikan yang khusus mengajarka broadcasting, penyiaran. Lulusan inilah yang menjadi ujung tombak pertelevisian. Saat ini yang ada, pekerja TV hanya learning by doing.

Lembaga pendidikan yang dimaksud Budyatna adalah lembaga pendidikan formal yang berjenjang seperti D3, S1,S2, dan S3. Selama ini yang ada baru berbentuk diklat-diklat, misalnya milik TVRI, Multi Media Training Center (MMTC), dan Ahli Multi Media Yogyakarta. Siswanya juga terbatas karyawan RRI, TVRI, Depen. Maklum jika hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Sebenarnya ide mendirikan lembaga pendidikan broadcasting ini pernah dilontarkan JB Wahyudi, praktisi pertelevisian. Menurutnya, bekerja di pertelevisian selalu didukung dengan aspek teknologi. Karenanya harus bisa menguasai teknologinya. Caranya, ya dengan pendidikan. Maka sudah saatnya didirikan sekolah menengah penyiaran. Jadi tidak langsung D3, S1, dan S2.

Harapannya, bila ide itu menjadi kenyataan, masyarakat yang awalnya bermental mekanik berubah bermental elektris. Maksudnya, janganlah kita bekerja dengan teknologi elektronika, tetapi pola tindakan dan pikirnya tetap mekanik. Inilah yang menyebabkan menajemen pertelivisian menjadi sangat lambat.

Arswendo Atmowiloto sepakat dengan ide tersebut. Hanya saja tidak bisa berhenti sampai disitu. Menurutnya, peningkatan SDM pertelevisian juga harus dilakukan melalui control dari luar. Maksudnya, sudah saatnya dibentuk semacam lembaga untuk pemirsa yang berperan sebagi pelindung penonton.

Lembaga inilah yang nanti bisa turut andil untuk menentukan sebuah produk siaran layak tayang atau tidak. Ketentuan layak tayang ini tentu saja yang menentukan masyarakat pemirsa. Bukan sekedar Depen dan MUI yang hanya mengurusi soal SARA. Jika ini terjadi, pengelola TV akan terpacu untuk menayangkan produk siaran yang benar-benar berkualitas.

Itulah sekelumit dari kompleksitas permasalahan pertelevisian nasional. Maksud hati memaksakan diri agar menjadi masyatakat informatif dan sophicticated, sayang SDM belum mumpuni. Sudah begitu aturan main pun belum jelas. UU Penyiaran yang selalu diharapkan malah semakin diributkan. Lalu? Optimis sajalah, esok hari pasti lebih cerah. Selamat ulang tahun TV Nasional. Semoga jaya di udara! (Awi Wiyono, tulisan ini dimuat Harian Ekonomi Neraca, 23 Agustus 1997)



Tulisan Anda
bisa menjadi sumber uang
Caranya, klik banner di bawah ini:
Pilihan Tepat Penulis Hebat


Ikuti tips dan strateginya!

Tulisan Anda
cepat dimuat media massa:
koran, tabloid, dan majalah.
Ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah
masuk ke rekening bank Anda.

0 comments:

Post a Comment