Cegah Kecurangan SNMPTN

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2010 digelar pada 16-17 Juni. Jutaan bakal calon mahasiswa dipastikan mengikuti ujian untuk mendapatkan satu kursi di universitas favorit. 

Saya berharap pelaksanaan SNMPTN tahun ini berjalan lancar. Meski harapan ini sering berakhir kehampaan. Seperti sudah mentradisi, SNMPTN selalu diwarnai kecurangan oleh orang-orang egois. Selalu ada calon mahasiswa yang bersaing tidak fair dengan memanfaatkan jasa joki saat mengikuti ujian SNMPTN. 

Untungnya, sebagian kecurangan ini bisa digagalkan. Ingat kasus tahun lalu, Kepolisian Wilayah Kota Besar Makasar, Sulawesi Selatan, berhasil menangkap sedikitnya 12 calon mahasiswa pengguna joki dan 14 orang joki saat mengikuti ujian SNMPTN di Universitas Hasanudin (Unhas).
Yang memprihatinkan, 14 joki SNMPTN itu ternyata mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung), perguruan tinggi yang memiliki reputasi wahid di negeri ini. Mahasiswa ITB memang dikenal memiliki kepintaran di atas rata-rata. Sayang, beberapa dari mereka lemah iman. Hanya karena rayuan sejumlah uang mereka rela melacurkan intelektualitasnya dengan menjadi joki SNMPTN. 

Terungkapnya kasus ini merupakan fenomena gunung es. Perjokian hanyalah satu dari banyak kecurangan masuk PTN yang tidak semuanya terungkap. Kecurangan ini akan selalu terjadi setiap tahun, selama akar masalahnya belum teratasi. Kini baru muncul dugaan, biang kerok kecurangan ujian masuk PTN adalah adanya jaringan nasional joki SNMPTN. 

Sebenarnya, bagaimanapun mahasiswa melakukan kecurangan, dipastikan mereka adalah para mahasiswa vandal yang layak dihukum dan dikeluarkan dari ITB dan lembaga akademi lainnya yang menjunjung tinggi kebenaran absolute.

Penulis sengaja menggunakan istilah vandal untuk menegaskan sikap dan tindakan para mahasiswa itu mirip sikap kebiasaan bangsa Vandal di era Romawi kuno yang perusak, kejam, serta menistakan segala yang indah dan terpuji. Sikap kebiasaan bangsa Vandal yang barbar ini akhirnya terkenal dengan istilah vandalisme. Banyak sekali perbuatan yang masuk ke dalam vandalisme, diantaranya kriminalitas, pencacatan dan perusakaan kebenaran dan keindahan.


Dalam konteks ini, tindakan para mahasiswa pelaku perjokian sudah merasuk ke dalam vandalisme akut: kriminal! Mereka dengan kepintarannya sengaja merusak keindahan tujuan diadakannya SNMPTN, yakni untuk secara objektif memilih calon mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas.


Maksud berkualitas adalah calon mahasiswa terpilih diharapkan memiliki potensi kecerdasan majemuk (multiple intelligence/MI). Selain cerdas intelegensi (intelligence quotient/IQ)), calon mahasiswa juga cerdas secara emosional (emotional quotient/EQ) dan cerdas spiritual (spiritual quotient/SQ). Dari para mahasiswa yang berkecerdasan majemuk inilah diharapkan lahir pemimpin yang bisa mengelola bangsa ini menjadi jauh lebih maju lagi.


Namun akibat vandalisme mahasiswa, misi dan tujuan ideal PTN terancam gagal. Sebab hingga kini tidak ada yang bisa menjamin, seluruh bentuk kecurangan masuk PTN itu bisa teratasi. Ada kemungkinan besar joki-joki SNMPTN dan modus kecurangan lain berhasil meloloskan klien-kliennya menjadi mahasiswa PTN.


Para mahasiswa PTN hasil kecurangan masuk ke dalam kelompok mahasiswa vandal. Selain merusak objektivitas seleksi masuk PTN, para mahasiswa vandal pasti merusak dan menistakan kebenaran kaidah-kaidah ilmiah dalam proses akademika. Saat perkuliahan, mahasiswa vandal dengan kekuatan uangnya bisa membeli nilai, bahkan ijazah atau gelar kesarjanaan. Banyaknya kasus jual beli nilai untuk mendogkrak IPK dan merebaknya gelar kesarjanaan palsu menjadi bukti, vandalisme mahasiswa berhasil menginvasi integritas kampus-kampus di negeri ini.


Wajar saat mereka lulus pun menyandang gelar sarjana vandal. Vandalisme mereka berlanjut saat memperebutkan pekerjaan dan jabatan. Puncak kekejaman vandalisme ini terlihat nyata saat mereka ikut aktif memperebutkan kekuasaan ekonomi dan politik nasional.


Mereka mampu meramu berbagai kecurangan dan anarkisme menjadi konspirasi tingkat tinggi. Kolusi, korupsi, dan pembunuhan dilakukan secara sistematis,
sehingga membiaskan kekuatan penegak hukum. Kebenaran dijadikan semakin absurd. Sedangkan paras kejahatan mereka make up layaknya wajah jujur kepahlawanan. Akibatnya, banyak korban karena masyarakat salah berpihak. Potret buram ini terpampang jelas di dalam realita Indonesia kini.

Sungguh mengerikan dampak dari vandalisme generasi terpelajar ini. Namun pertanyaannya, mengapa vandalisme mahasiswa begitu mudah merasuk ke dalam nadi sistem pendidikan tinggi kita?


Tentu ada banyak perspektif untuk menjawab pertanyaan ini. Namun yang paling kasat mata, karena sebagian besar masyarakat bermental penerabas. Maunya serba cepat mencapai tujuan, meski harus memutarbalikkan etika, moral, dan hukum. Misalnya, ingin menjadi mahasiswa di fakultas dan universitas terkenal, tapi enggan mengasah kemampuan. Bernafsu cepat menjadi pejabat, meski tanpa kapabilitas. Ingin cepat sukses besar, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip kesuksesan. Budaya instan yang mendangkalkan makna proses ini memicu mereka bertindak curang dan kolutif dalam mencapai tujuan.


Selain itu, vandalisme mahasiswa juga terjadi karena terseret arus materialisme akut. Mereka berpaham pada pemujaan materi yang berlebihan. Tolok ukur keberhasilan hanya berprinsip pada besarnya jumlah materi yang bisa didapatkan.


Tidak penting lagi soal cara mendapatkan materi. Halal atau haram, legal atau illegal semua diabaikan. Uang dijadikan pondasi untuk mengangkat martabat dan kehormatan mereka. Mengapa? Karena sebagian besar orang tua dan masyarakat menginterpretasikan keberhasilan berdasarkan nilai kekayaan materi belaka.


Pantas jika para mahsiswa vandal membabibuta memburu uang Rp20juta-135 juta dengan menjadi joki SNMPTN. Bagi mereka, uang sebesar itu bisa untuk membayar biaya kuliah yang semakin mencekik leher. Orang tua pun pasti bangga, mempunyai anak mahasiswa yang mampu meringankan beban keuangan keluarga. Tapi tentu saja, jika kriminalitas mereka tidak digagalkan!


Tragis memang. Namun ironisnya, mental penerabas yang berorientasi materielisme ini telah berhasil membentuk karakter sebagian besar generasi muda, termasuk mahasiswa. Akibatnya, selalu lahir generasi muda dan mahasiswa vandal, yakni generasi kejam yang jika kelak berkuasa rela menjual negeri ini demi keuntungan pribadi.


HENTIKAN


Vandalisme mahasiswa tidak boleh dilanjutkan! Cukup sudah mereka menciderai keindahan sistem pendidikan kita. Kini saatnya menghentikan sepak terjang mereka. Tidak mudah, tetapi pasti bisa jika ada komitmen kuat dan selalu berusaha keras untuk menghentikannya.


Langkah awal harus dimulai dari pihak-pihak berwenang yang memiliki otoritas di dalam mengelola sistem pendidikan tinggi. Mereka harus lebih memperkuat lagi sistem pendidikan tinggi, mulai proses seleksi hingga perkuliahan, agar tidak bisa ditembus oleh para vandalis.


Langkah itu harus diikuti dengan memperkuat benteng integritas diri pihak berwenang, mulai dari staf pegawai, dosen, hingga pejabat teras kampus. Mereka harus menjadi teladan dalam penegakan etika, moral, dan hukum, dengan mengawali untuk tidak kolusi, korupsi, dan konsiprasi dalam setiap pelaksanaan sistem pendidikan tinggi.


Sikap masyarakat juga harus berubah. Selain juga tidak kolutif, mereka harus melakukan reorientasi opini dalam menilai keberhasilan, khususnya keberhasilan putra putrinya yang sedang merintis masa depan melalui pendidikan tinggi. Kesuksesan jangan selalu diukur dalam skala materialistis belaka.


Uang dan prestise penting, tetapi akan jauh bernilai jika dipadukan dengan karakter yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai integritas, yakni menghargai proses pencapain yang didasari oleh penegakan etika, moral, dan hukum. Keberhasilan pencapaian seperti inilah yang sering disebut sukses mulia.


Begitu pula bagi para
mahasiswa. Sadarilah, vandalisme tidak akan pernah mampu menjadikan kaya raya. Uang puluhan juta, bahkan ratusan juta yang diperoleh dengan cara barbar kaum Vandal, hanya mempercepat langkah mahasiswa diwisuda menjadi penjahat.

Apakah keberhasilan seperti itu yang ingin dicapai? Pasti tidak. So, tinggalkan vandalisme sekarang juga. Dengan modal kepintaran (dan kecerdasan?) yang dimiliki,
mahasiswa pasti bisa mencapai kesuksesan mulia. Banyak peluang besar di setiap petak negeri ini menunggu kerja kreatif anda.

Para calon mahasiswa juga harus paham, vandalisme tidak pernah mampu mengantarkan ke puncak prestise, meski mereka berhasil masuk ke fakultas dan PTN terfavorit.
Prestise yang dicapai dengan cara vandalisme adalah keberhasilan semu yang penuh kenistaan. Prestise adalah kehormatan yang hanya bisa dicapai dengan cara-cara bermartabat, bukan dengan cara-cara vandalisme. *Awi Wiyono, Penggiat Citizen Journalism.


Ayo Menulis

klik banner di bawah ini:


2 Cara Sederhana Menghasilkan Uang Melimpah


Ikuti tips dan strateginya
anda bisa menjadi penulis jutawan!




0 comments:

Post a Comment