TV Nasional: Bisnis Hiburan Yang Memaksakan Diri

Kehadiran televisi (TV) memeriahkan suasana. Namun pada saat bersamaan, TV mengintervensi segenap kehidupan. Langsung atau tidak, TV turut andil dalam pembentukan konsep kepribadian, sosialisasi, dan pemaknaan budaya. TV berhasil menjadi struktur atas kehidupan masyarakat.

Momentum seperti sekarang, 24 Agustus, saat pertelevisian menginjak usia 35 tahun -(TVRI 1962-1997, RCTI 1989, SCTV 1990- bisa digunakan untuk melihat berbagai hal menyangkut TV. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana perkembangan dan peranan TV bagi masyarakat dan bangsa?

Perkembangan Singkat
Semaraknya pertelevisian di Indonesia saat ini tidak lepas dari good will pemerintah dalam menghadapi revolusi komunikasi dan informasi. Menyadari laju informasi yang sulit dibendung, diterapkanlah kebijakan udara terbuka (The Open Sky Policy).

Melalui SK Menparpostel No. KM 49/PL.104/MPPT 1986 dan SK Menpen No.167B/Kep/Menpen/1986/, pemerintah mengizinkan masyarakat memiliki antena parabola. Sejak 20 Agustus 1986, program siaran TV asing masuk ke kehidupan masyarakat kita.

Deregulasi pertelevisian 1990 semakin mengubah wajah pertelevisian Indonesia. Pemerintah dengan SK Menpen No.111/Kep/Menpen/1990 menghapus penyelenggaran siaran TV tunggal yang berlangsung sejak 1962. Swasta diperbolehkan menyelenggarakann siaran TV.

Menurut ketentuan SK Menpen No.111 ada dua kategori siaran di luar TVRI, yakni Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum (SPTSU) dan Stasiun Penyiaran Televisi Pendidikan (SPTP). Untuk SPTSU, pada 1989 lahir Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), disusul Surya Citra Televisi (SCTV) 1993, ANTV dan Indosiar 1995. Sedangkan yang SPTP muncul Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada tahun 1991. Sayangnya, kedua konsep itu (SPTSU dan SPTP) menjadi bias, karena materi siarannya relative sama.

Puncak deregulasi pertelevisian Indonesia adalah saat TV swasta yang tadinya hanya siaran lokal, mendesak untuk menasional dan disetujui pemerintah, dengann keluarnya SK Menpen No. 04/A/Kep./ 1993 yang mengizinkan penyelenggaraan siaran nasional oleh TV swasta.

RCTI dan SCTV langsung memanfaatkan kesempatan ini. Pada 24 Agustus 1993 kedua TV swasta ini mulai siaran nasional. ANTV dan Indosiar begitu lahir langsung siaran nasional. TPI karena mendapat “fasilitas” sejak awal sudah siaran nasional. Akhirnya kita bisa menikmati siaran TV seperti saat ini.

Perkembang pertelevisian Indonesia ini sesuai dengan tuntutan pembangunan yang sedang terus bergulir. Dalam GBHN 1993 ditegaskan, pembangunan sarana dan prasarana penerangan dan komunikasi perlu terus ditingkatkan dengan memperhatikan kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi komunikasi. Tujuannya agar dapat diwujudkan tersedianya wahana komunikasi informasi yang handal serta merata di seluruh tanah air.

Dalam konteks ini, pertelevisian nasional berposisi penting, yakni berperan dalam pemerataan distribusi dan mengurangi kesenjangan informasi. Hasil yang diharapkan adalah lahirnya bangsa yang cerdas dan mampu hidup sejajar dengan Negara maju di dunia. Mission statement TV nasional adalah setiap program siaran harus mendidik, informative, dan menghibur.

Kunci agar tujuan ideal siaran TV nasional tercapai sangat bergantung pada budaya pertelevisian Indonesia. Artinya, nilai budaya TV adalah isi siaran, cara menyiarkan, dan manfaat siaran dimana masing-masing memiliki standart dan harapan tersendiri yang menjadi patokan.

Ada tiga pihak yang selalu saling tawar menawar dalam mengidealkan budaya pertelevisian ini, yaknipemerintah, penonton, dan pekerja TV. Mereka dituntut selalu melakukan inoveasi, yakni suatu usaha untuk menyempurnakan sebuah satuan acara, mengganti mata rantai yang lemah, merancang ulang program proses penciptaan lama atas dasar pengetahuan baru, baik metode, teknologi, maupun estetika.

Satuan acara TV adalah suatu karya budaya. Arti sempitnya seni. Oleh karena itu, kata Ashadi Siregar (1995) proses penciptaanya harus berkonteks pada fungsi ekonomi, politik, dan agama yang sedang dominan. Jika yang dominan kapitalis, seni yang dianggap bernilai adalah yang laku dijual. Untuk politik fasis, seni yang paling bernilai adalah seni ala lagu-lagu atau film yang mampu membangkitkan nasionalisme. Dalam agama, tergantung kreteria yang digunakan penguasa di sector ini. Minimal tidak terfatwa sebagai produk yang haram. Idealnya bisa diterima ketiga konteks tersebut.

Dari paparan tersebut, kita bisa memahami kecenderungan yang ada dalam budaya pertelevisian Indonesia dengan mencermati program siarannya. Menilik realitas media TV nasional saat ini, yang paling kuat dalam membentuk budaya pertelevisian Indonesia adalah masyarakat pekerja TV. Indikasinya, mereka berorientasi pragmatis ekonomis serta bersikap lunak dan adaptif terhadap kepentingan politik yang sedang berjalan.

Selain itu, mereka juga memanjakan penoton dengan memberikan apa yang diinginkannya. Sehingga yang terpenting bagi pihak TV adalah bagaimana mengestetikakan pasar dann memasarkan estetika sejauh dapat mengakumulasi modal.

Dengan demikian, mereka akan selalu merasa paling benar dan paling tahu tentang seharusnya menyelenggarakan siaran TV yang baik, aman, serta mendatangkan iklan. (bersambung… ke TV Nasional:… (2) )
(Awi Wiyono, Harian Ekonomi Neraca, 23 Agustus 1997)


Tulisan Anda
juga bisa dimuat di media massa
Caranya, klik banner di bawah ini:

Pilihan Tepat Penulis Hebat

Ikuti tips dan strateginya,
Tulisan Anda
Pasti cepat dimuat media massa,
seperti koran, tabloid, dan majalah.
Ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah
masuk ke rekening bank Anda.

2 comments:

Anonymous said...

harapanku, tv tidak menayangkan sinetron yang tidak mendidik..... ( harapan yang tidak mungkin terwujud ??? )

Awi Wiyono said...

Harapan bagus Bob, cuma perbedaan persepsi antara penonton, pengelola TV, dan pemerintah, selalu melahirkan perbedaan makna SINETRON MENDIDIK. Anomali TV akan terus terjadi, sintron yang dinilai tidak mendidik justru ratingnya tinggi! Aneh khan?

Post a Comment