Penyelamat Ketoprak



Kesenian tradisional Ketoprak sedang termarginalisasi. Serbuan seni budaya modern berhasil memposisikan Ketoprak di titik kulminasi terendah di dalam selera pasar industri kreatif Indonesia. Ketoprak hanya bisa bertahan di wilayah periferi, baik secara geografis, sosial, maupun, ekonomi.

Akibatnya, Ketoprak hanya mudah ditemui di wilayah-wilayah pinggiran, seperti masyarakat pedesaan pantai Utara Jawa (Pantura). Penggemarnya pun tersegmentasi pada kelas menengah ke bawah, sehingga Ketoprak seakan ditakdirkan sebagai penghibur kaum marginal.

Loyalitas kaum proletar terhadap Ketoprak juga menjadi pertahanan terakhir bagi eksistensi kesenian tradisional ini. Kekukuhan relasi terhadap Ketoprak ini bisa terjaga baik, karena mereka memasukan Ketoprak ke dalam ranah spiritualisme. Eksistensi Ketoprak menjadi bagian dari ritual adat permohonan berkah dan perlindungan kepada Tuhan.

Setiap daerah memiliki istilah berbeda dalam menyebut ritual adat tersebut. Ada daerah yang menyebut Rasulan. Masyarakat Pantura, khususnya di Rembang, menyebutnya Sedekah Bumi dan Sedekah Laut. Perayaan Sedekah Bumi dan Sedekah Laut ini wajib dilakukan sekali dalam setahun.

Mayoritas dari ratusan dukuh (desa) di Rembang merayakan Sedekah Bumi dan Sedekah Laut dengan mementaskan Ketoprak. Jadi wajar, bila hampir setiap minggu, bahkan setiap hari masyarakat bisa menyaksikan para seniman Ketoprak mempertontonkan aksinya.

Sesering itu pula para seniman Ketoprak membongkar pasang panggung, berpindah dari dukuh (desa) satu ke dukuh (desa) lain untuk mendekatkan keindahan nilai-nilai seni Ketoprak kepada masyarakat. Pergerakan mereka selalu mengikuti arus permintaan pementasan.

Ada banyak group Ketoprak yang sering pentas di Rembang. Menurut pengamatan penulis selama beberapa bulan, group Ketoprak tersebut berasal dari Rembang dan Pati, diantaranya Wahyu Manggolo, Songgo Budoyo, dan Kridho Carito.

Mereka memulai pertunjukan siang pada jam 12.30-16.30 WIB, dan dilanjutkan pentas malam pada jam 20.30-03.00 WIB. Namun jangan terburu memakai standar tinggi saat menilai penampilan mereka. Performance art mereka masih belum maksimal seperti masa kejayaannya. Mulai dari tata panggung, pencahayaan, gamelan, make up, hingga alur cerita masih serba sederhana.

Belum adanya tobong atau tempat pertunjukan yang representatif menjadi aral maksimalisasi aksi mereka. Bahkan Group Ketoprak Songgo Budoyo saat manggung di Desa Jeruk, rela tampil di bawah pohon besar yang rindang. Beratapkan langit, para niyaga memainkan gamelan seraya berharap hujan tidak turun. Untungnya pawang hujan berhasil mengusir mendung, sehingga para seniman Ketoprak ini bisa tenang berekspresi hingga pementasan berakhir.

Namun sesederhana apapun penampilan group Ketoprak itu, ternyata masih memikat hati masyarakat. Buktinya, penonton berjubel saat Wahyu Manggolo pentas di Desa Pulo. Kerumunan penonton sempat membuat macet jalan yang melintas arena pertunjukan Ketoprak tersebut.

Bila dicermati, realita relasi ritual adat dan Ketoprak tersebut bisa menjadi momentum bagi kebangkitan Ketoprak. Artinya diakui atau tidak, ritual adat terbukti mampu berperan besar dalam menyelamatkan atau minimal memberikan nafas segar bagi Ketoprak agar bisa hidup lebih lama.

Kenyataan tersebut harus dipahami oleh para seniman Ketoprak, masyarakat pecinta Ketoprak, dan Pemerintah. Para seniman Ketoprak seharusnya menangkap peluang yang sedang berpihak pada diri mereka. Seberapapun besarnya, perayaan ritual adat telah memberikan kekuatan atau energi bagi kelangsungan hidupnya. Mereka harus bisa memaksimalkan energi tersebut untuk memperbaiki diri agar bisa tampil lebih kreatif dan inovatif, baik performance art maupun manajemen bisnisnya.

Tanpa bermaksud mengaburkan nilai-nilai ideal pesan yang ingin disampaikan, para seniman Ketoprak harus bisa mensinergikan seni pop modern dan tradisional untuk memperkini penampilan. Banyak unsur seni pop modern yang bisa untuk mempercantik kemasan Ketoprak.

Apalagi, Ketoprak adalah akumulasi dari berbagai cabang seni, seperti tari, musik, lagu, komedi, dan theater/drama. Semua paduan ini bisa diterima oleh selera masyarakat sekarang asalkan disajikan dalam ramuan imaji estetik hiburan yang pas.

Keahlian meramu seni ini selalu menjadi tantangan bagi para seniman Ketoprak masa kini dan yang akan datang. Siapa yang tanggap, mereka akan berhasil merasuk kembali ke pusaran industri kreatif yang kini sedang didengungkan.

Penyelamatan Ketoprak juga membutuhkan dukungan masyarakat. Dalam konteks ini, sikap masyarakat Rembang pantas mendapatkan apresiasi. Mereka berada di jalur yang tepat, saat perayaan ritual Sedekah Bumi dan Sedekah Laut memilih mementaskan Ketoprak dibanding pentas hiburan yang lain.

Sikap dan tindakan masyarakat Rembang ini harus dilanjutkan. Jika perlu tokoh-tokoh adat desa menyatukan komitmen untuk selalu menampilkan Ketoprak sebagai hiburan di setiap acara ritual adat Sedekah Bumi dan Sedekah Laut. Komitmen semacam ini pasti bisa menjaga eksistensi Ketoprak hingga kapanpun.

Memang tidak mudah merealisasikan komitmen tersebut. Pasti banyak hambatan. Selain alasan keyakinan, aral bisa datang dari hal-hal yang bersifat teknis, terutama yang berkaitan dengan pendanaan. Setiap desa memang memiliki kemampuan finansial terbatas. Saat ini dibutuhkan sekitar Rp 10 juta untuk mementaskan Ketoprak.

Hambatan pendanaan itu bisa diatasi dengan gotong royong. Warga desa bisa menggalang dana dengan cara iuran dan mencari sponsor. Melihat banyaknya penonton Ketoprak, pasti ada perusahaan yang mau mensposori pementasan Ketoprak. Solusi ini sudah dibuktikan oleh warga desa Pandean saat mementaskan Ketoprak Kridho Carito belum lama ini.

Dukungan Pemerintah Kabupaten Rembang tentu saja sangat dibutuhkan.Pemerintah harus terus melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap para seniman Ketoprak. Pembinaan ini penting untuk regenerasi seniman Ketoprak. Selain itu, pemerintah perlu menambah fasilitas gedung pertunjukan, sehingga bisa memacu perkembangan kesenian tradisional, terutama Ketoprak.

Pemerintah juga harus membuat gebrakan berupa acara-acara yang bergaung besar. Perayaan ritual adat, seperti perayaan Syawalan atau Lebaran Ketupat, bisa dijadikan event pementasan aneka kesenian tradisional, termasuk Ketoprak.

Akhirnya, paparan ini hanya mengungkap sebuah contoh kasus tentang peran ritual adat yang mampu menjaga eksistensi kesenian tradisional Ketoprak. Perayaan ritual adat di daerah lain tentu juga bisa untuk menyelamatkan kesenian tradisional lainnya, seperti Wayang Kulit dan Ludruk. Asalkan, masyarakat setempat berkomitmen memasukkan kesenian tradisional menjadi bagian dari perayaan ritual adat daerah tersebut. Sanggupkah? (Awi Wiyono, Citizen Journalist)

0 comments:

Post a Comment