Hubungan anak-anak dan televisi (TV) selalu menjadi realitas yang menyita perhatian masyarakat. Akselerasi yang ditawarkan TV bersama format dan formasi program siarannya berpengaruh langsung pada akselerasi tingkat kecerdasan, kreativitas, sosialisasi, dan pemaknaan nilai budaya pada diri anak-anak. Singkatnya, eksistensi TV telah jauh mengintervensi proses konsep diri dan pertumbuhan kepribadian anak-anak.
Fenomena ini dapat dicermati saat TV berhasil mengusik atau bahkan menggeser peran guru. Guru tidak lagi dianggap ”dewa” pengetahuan dan sumber ilmu. Anak-anak terpikat dan merasa lebih nyaman belajar pada media audiovisual ini. Padahal, orang tua masih sangat mengharapkan peran guru yang seutuhnya untuk mendidik putra putrinya.Persoalannya, bisakah si layar kaca ini menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru secara realistis, sehingga anak-anak dapat berprilaku sesuai fakta sosial budaya di sekelilingnya, serta tidak tertipu fatamorgana ilusi yang tidak akan pernah ada dalam kehidupan sehari-hari?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Namun yang pasti, peran ideal stasiun televisi (TV) adalah memberikan informasi, edukasi, dan hiburan kepada khalayak pemirsa, termasuk anak-anak. Ketiga unsur peran tersebut harus mendapatkan porsi durasi dan frekuensi tayang yang seimbang.
Namun realitanya, program siaran TV selalu didominasi tayangan hiburan. Banyak hasil riset tentang siaran TV menyimpulkan, kodrat TV adalah menghibur. Apapun yang ditayangkan TV, baik program informasi maupun edukasi harus dikemas dalam imaji estetik hiburan.
Menjalani kodratnya, TV memanjakan masyarakat, khususnya anak-anak, dengan berbagai hiburan, seperti sinetron, film, musik, quis, olah raga, reality show, dan talk show. Semua hiburan TV ini sering disajikan dalam format budaya pop yang ringan agar bisa ditonton sebanyak mungkin pemirsa dari segala lapisan masyarakat.
Peran TV sebagai penghibur berlangsung mulus seandainya TV bisa menayangkan program hiburan yang berkualitas, yakni tayangan rekreatif yang mencerdaskan masyarakat, termasuk anak-anak. Selain memberikan relaksasi, program hiburan TV harus memberi inspirasi dan pencerahan, sehingga pemirsa, khususnya anak-anak, bisa terbebas dari kejenuhan psikologis dan termotivasi untuk hidup lebih baik dan maju lagi.
Masalahnya, hingga kini TV belum bisa mempresentasikan hiburan yang mutunya mampu menyatukan kepuasan penonton, sponsor, otoritas kebijakan, serta lembaga kontrol semacam KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Akibatnya, program hiburan TV selalu berada di ranah kontroversi, karena intepretasi nilai kualitas selalu berakhir pada persepsi subjektivitas kepentingan.
Pengelola TV mengintepretasikan kualitas program hiburan dalam logika kapital. Tolok ukur kualitas hiburan TV selalu berkolerasi dengan jumlah dana yang masuk ke rekening aset. Kategori hiburan TV bermutu adalah tayangan yang ditonton oleh mayoritas pemirsa TV, sehingga mendapatkan rating tinggi dan dibanjiri banyak sponsor.
Demikian juga pemasang iklan. Mereka menilai kualitas hiburan TV berdasarkan popularitas dan rating tinggi. Sponsor mengucurkan dana hanya untuk hiburan TV yang bisa meningkatkan kinerja pemasaran bisnisnya. Bagi mereka hiburan TV berkualitas adalah tayangan yang bisa melipatgandakan omset penjualan produk atau jasanya.
Masyarakat lembaga kontrol semacam KPI, tentu mengecam prinsip pengelola TV dan sponsor yang mendewakan pasar. Pihak ini menolak motif ekonomi dijadikan satu-satunya kunci untuk menilai kualitas hiburan TV. Menurutnya, hiburan TV yang bermutu adalah tayangan hiburan yang memiliki nilai-nilai tanggung jawab sosial yang tinggi. Selain bertujuan membuat riang masyarakat, termasuk anak-anak, program hiburan TV harus bertujuan menebarkan nilai-nilai positif untuk membangun pola kehidupan agar lebih beradab.
Wajar jika KPI sering memberikan sanksi kepada TV karena program hiburannya menanamkan nilai-nilai yang membahayakan masyarakat. Hancurnya sistem etika, moral, dan hukum saat ini karena andil besar hiburan TV, terutama tayangan sinetron, yang secara intensif mensosialisasikan kekerasan, seksualitas, bias gender, mistik, dan perilaku negatif yang berpengruh buruk bagi perkembangan diri dan mental masyarakat. Khususnya anak-anak.
Sayangnya tekanan dan sanksi itu tidak mampu memutus relasi TV dan khalayak pemirsa, termasuk anak-anak. Masyarakat bukannya menjauh, tetapi justru semakin menyukai hiburan TV yang dinilai berkualitas buruk, terutama tayangan sinetron semacam Nikita (RCTI), Cinta Fitri, Melati untuk Marvel (SCTV), Muslimah, Inayah (Indosiar), dan Air Mata Cinta (RCTI). Tayangan sinetron rata-rata mendapatkan rating tinggi adalah cerminan dari intensnya masyarakat, termasuk anak-anak, dalam menonton produk-produk rekreatif tersebut.
Intensitas anak-anak menonton TV tersebut tentu sangat mengkhawatirkan. Waktu yang digunakan anak-anak untuk menonton TV sudah terlalu tinggi, yakni bisa mencapai 1.600 jam setahun (35 jam/minggu), padahal waktu belajar anak-anak di sekolah hanya 750 jam setahun. Idealnya anak-anak menonton TV cukup 2jam/hari atau 14 jam/minggu.
Padahal TV melalui program siarannya sangat efektif membentuk prilaku anak-anak. Menurut Dwyer, sebagai media audio visual, TV mampu merebut 94% saluran masuknya nilai-nilai informasi ke dalam jiwa manusia, yaitu lewat mata dan telinga. Pemirsanya pun bisa mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Pemirsa bisa ingat 85% dari apa yang mereka lihat di TV setelah 3 jam kemudian dan 65% setelah 3 hari kemudian. (Dwyer, 1985).
Temuan Nielsen Media Research (2004) juga menegaskan, televisi memiliki daya penetrasi jauh lebih besar daripada media informasi lainnya. Penetrasi televisi mencapai 90,7%, sedangkan radio, surat kabar, majalah, dan internet masing-masing hanya mencapai 39 %, 29,8%, 22,4%, dan 8,8%.
Dengan demikian, anak-anak akan mudah meniru apa yang mereka lihat, sehingga perilaku dan sikap anak tesebut mengikuti nilai-nilai dan prilaku yang ada di dalam acara televisi yang ditontonnya. Apabila yang ditonton merupakan acara edukatif, maka akan bisa memberikan dampak positif. Sebaliknya jika yang ditonton lebih banyak mengandung unsur-unsur negatif, misalnya kekerasan, maka akan berdampak negatif terhadap prilaku anak.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya orang tua mengawasi acara televisi yang menjadi tontonan anaknya, sehingga dapat melakukan proteksi tehadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh program siaran televisi. (Awi Wiyono)
Ayo Menulis..!
0 comments:
Post a Comment