Tiga Calon Presiden (Capres) RI, Megawati Soekarnoputri (Megawati), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK) telah menyelesaikan kampanye untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tanggal 8 Juli 2009. Visi dan misi ketiganya hampir sama, yakni sama-sama untuk kepentingan kemajuan rakyat dan bangsa Indonesia. Kini giliran rakyat untuk menentukan siapa pemenangnya.
Namun ternyata, tidak mudah memilih Presiden yang akan memimpin negeri ini hingga tahun 2014. Pertentangan antara rasionalitas dan emosionalitas sering menyulitkan dalam menemukan alasan yang tepat untuk menentukan pilihan. Selalu ada kekhawatiran saat mulai mempercayai janji-janji ketiga Capres. Akhirnya, hanya hati nurani yang mampu mengarahkan rakyat menjadi pemilih idealis ataukah pragmatis.
Secara pragmatis pro gender, perempuan sebenarnya lebih mudah menentukan pilihannya. Mereka hanya memiliki satu pilihan, yakni Megawati sebagai Presiden RI untuk periode 2009-2014. Alasannya jelas, karena Ketua Umum PDI-P ini adalah perempuan satu-satunya yang bertarung di dalam Pilpres tahun ini. Dari prespektif gender, perempuan selayaknya mendukung perempuan yang sedang berjuang membongkar dominasi hegemoni laki-laki. Kemenangan Megawati berarti kemenangan perempuan.
Namun dalam kenyataannya, tidak semua perempuan mendukung dan memilih Megawati. Buktinya saat Pilpres tahun 2004, SBY yang laki-laki mampu mengalahkan Megawati. Peristiwa yang sama bisa saja terulang pada Pilpres kali ini. Padahal, Megawati berpeluang besar memenangkan Pilpres 2009, seandainya pemilih perempuan yang jumlahnya mencapai 57% dari 171.068.667 orang, memilih Capres nomor urut 1 ini.
Lalu masalahnya, mengapa perempuan tidak memilih Capres perempuan? Pasti muncul banyak argumentasi untuk menjelaskan motif perempuan tidak memilih Capres perempuan. Argumentasi yang paling mudah diterima adalah karena pemilih perempuan tidak sepaham dengan visi dan misi Capres perempuan. Artinya, Capres perempuan, yakni Megawati, belum mampu merepresentasikan kepentingan perempuan, sehingga pemilih perempuan berpihak pada Capres Laki-laki.
Pemilih Perempuan tipe ini sebetulnya tidak lagi mendikotomikan jenis kelamin sebagai syarat menjadi Presiden RI. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama memimpin bangsa ini, asal memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mengelola Negara.
Mereka menilai Capres benar-benar berdasarkan faktor visi dan misinya. Bukan karena alasan gender semata. Tidak masalah perempuan atau laki-laki, mereka siap memberikan suaranya untuk Capres yang visi dan misinya bisa memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia.
Lebih tegasnya, seandainya mereka memilih Megawati pada Pilpres kali ini, alasannya pun bukan karena Megawati seorang perempuan. Tetapi karena kecerdasan rasionalitas mereka bisa menangkap visi dan misi yang akan diperjuangkan oleh Putri Bung Karno ini. Sebaliknya, pemilih perempuan bisa saja memilih Capres laki-laki, yakni SBY atau JK, jika visi dan misi keduanya lebih baik dalam merepresentasikan kesetaraan gender.
Sayangnya, tidak semua pemilih perempuan berprinsip seperti itu. Banyak pemilih perempuan justru masih bersikukuh memegang dogma sosial dan agama bahwa perempuan itu irasional sehingga tidak boleh menjadi presiden.
Para pemilih perempuan ini tentu saja tidak akan pernah memilih Capres perempuan sebaik apapun visi dan misinya. Dibayar berapa pun mereka tidak akan mau memberikan suaranya untuk Capres perempuan. Selama bias gender ini terkunci rapat di dalam keyakinan perempuan, mustahil Megawati memenangkan Pilpres secara langsung.
Selain itu, tekanan atau intimidasi dari pihak luar bisa memaksa pemilih perempuan tidak memilih Capres perempuan. Tekanan, ancaman, intimidasi ini biasanya berasal dari orang atau struktur organisasi/lembaga yang memiliki posisi tawar lebih tinggi daripada posisi pemilih perempuan. Teror politik terhadap pemilih perempuan ini bisa bermotif ideologis maupun pragmatis.
Intimidasi ideologis pernah mengemuka saat ada wacana mengharamkan presiden perempuan. Orang atau organisasi yang berpaham anti presiden perempuan dengan segala cara menekan pemilih perempuan untuk tidak mendukung kaumnya memimpin Negara. Mereka biasannya menekan secara dogmatis keagamaan, sehingga penolakan oleh pemilih perempuan bisa bermakna dosa bagi mereka. Ketakutan terhadap azab neraka ini pasti membuat pemilihan perempuan tidak akan memilih Capres perempuan.
Intimidasi pragmatis biasanya berlangsung di lembaga atau tempat kerja. Misalnya, Sang Bos atau atasan memaksa karyawan/pegawainya untuk mengikuti arah politiknya. Jika Bos berseberangan politik terhadap Capres perempuan, ia bisa menekan karyawan/pegawai perempuannya untuk tidak memilih Capres perempuan. Jika menolak, karyawan/pegawai perempuan bisa dimutasi atau bahkan dipecat!
Intimidasi tersebut tentu saja sangat menakutkan pemilih perempuan, karena mengancam stabilitas ekonomi keluarga. Mencari aman akhirnya menjadi alasan terkuat bagi pemilih perempuan untuk tidak memilih Capres perempuan.
Lebih naïf lagi adalah para pemilih perempuan yang sikap politiknya masih mengambang. Mereka tidak peduli siapa presidennya. Mereka hanya peduli pada berapa uang yang akan didapat. Mereka hanya memihak kepada Capres yang mau membeli suaranya. Pemilih perempuan ini sifatnya sangat pragmatis layaknya seorang pedagang yang memburu laba. Mereka berpegang teguh prinsip “uangmu untukku suaraku untukmu!”
Tim sukses Capres paham cara mengelola pemilih perempuan jenis ini. Seperti saat Pemilihan Legislatif (Pileg) yang lalu, orang-orang dari Tim Sukses Capres pasti melakukan serangan fajar untuk bagi-bagi uang kepada ibu-ibu agar memilih Capres seperti yang dikehendaki. Siapa yang memberikan uang lebih banyak, memiliki peluang besar mendulang suara dari pemilih perempuan.
Praktek money politic seperti itu dipastikan masih mewarnai Pilpres kali ini. Serangan money politic ini biasanya diarahkan kepada pemilih perempuan, khususnya ibu-ibu, karena terbukti lebih efektif. Jika demikian, praktek money politic ini pun bisa digunakan sebagai senjata ampuh untuk mengarahkan pemilih perempuan agar tidak memilih Capres perempuan.
Last but not least, pemilih perempuan tidak memilih Capres perempuan karena memilih menjadi Golongan Putih alias Golput. Memilih adalah hak bukan kewajiban politik, maka pemilih perempuan bisa tidak menggunakan hak pilihnya saat Pilpres. Mereka memutuskan tidak memilih salah satu Capres, khususnya Capres perempuan, karena ketiga Capres yang ada dinilai belum sesuai harapan yang diidealkan. Akhirnya, tersisa satu pertanyaan: Anda termasuk pemilih perempuan yang mana? *Awi Wiyono, Citizen Journalist
Pemilih Perempuan tipe ini sebetulnya tidak lagi mendikotomikan jenis kelamin sebagai syarat menjadi Presiden RI. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama memimpin bangsa ini, asal memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mengelola Negara.
Mereka menilai Capres benar-benar berdasarkan faktor visi dan misinya. Bukan karena alasan gender semata. Tidak masalah perempuan atau laki-laki, mereka siap memberikan suaranya untuk Capres yang visi dan misinya bisa memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia.
Lebih tegasnya, seandainya mereka memilih Megawati pada Pilpres kali ini, alasannya pun bukan karena Megawati seorang perempuan. Tetapi karena kecerdasan rasionalitas mereka bisa menangkap visi dan misi yang akan diperjuangkan oleh Putri Bung Karno ini. Sebaliknya, pemilih perempuan bisa saja memilih Capres laki-laki, yakni SBY atau JK, jika visi dan misi keduanya lebih baik dalam merepresentasikan kesetaraan gender.
Sayangnya, tidak semua pemilih perempuan berprinsip seperti itu. Banyak pemilih perempuan justru masih bersikukuh memegang dogma sosial dan agama bahwa perempuan itu irasional sehingga tidak boleh menjadi presiden.
Para pemilih perempuan ini tentu saja tidak akan pernah memilih Capres perempuan sebaik apapun visi dan misinya. Dibayar berapa pun mereka tidak akan mau memberikan suaranya untuk Capres perempuan. Selama bias gender ini terkunci rapat di dalam keyakinan perempuan, mustahil Megawati memenangkan Pilpres secara langsung.
Selain itu, tekanan atau intimidasi dari pihak luar bisa memaksa pemilih perempuan tidak memilih Capres perempuan. Tekanan, ancaman, intimidasi ini biasanya berasal dari orang atau struktur organisasi/lembaga yang memiliki posisi tawar lebih tinggi daripada posisi pemilih perempuan. Teror politik terhadap pemilih perempuan ini bisa bermotif ideologis maupun pragmatis.
Intimidasi ideologis pernah mengemuka saat ada wacana mengharamkan presiden perempuan. Orang atau organisasi yang berpaham anti presiden perempuan dengan segala cara menekan pemilih perempuan untuk tidak mendukung kaumnya memimpin Negara. Mereka biasannya menekan secara dogmatis keagamaan, sehingga penolakan oleh pemilih perempuan bisa bermakna dosa bagi mereka. Ketakutan terhadap azab neraka ini pasti membuat pemilihan perempuan tidak akan memilih Capres perempuan.
Intimidasi pragmatis biasanya berlangsung di lembaga atau tempat kerja. Misalnya, Sang Bos atau atasan memaksa karyawan/pegawainya untuk mengikuti arah politiknya. Jika Bos berseberangan politik terhadap Capres perempuan, ia bisa menekan karyawan/pegawai perempuannya untuk tidak memilih Capres perempuan. Jika menolak, karyawan/pegawai perempuan bisa dimutasi atau bahkan dipecat!
Intimidasi tersebut tentu saja sangat menakutkan pemilih perempuan, karena mengancam stabilitas ekonomi keluarga. Mencari aman akhirnya menjadi alasan terkuat bagi pemilih perempuan untuk tidak memilih Capres perempuan.
Lebih naïf lagi adalah para pemilih perempuan yang sikap politiknya masih mengambang. Mereka tidak peduli siapa presidennya. Mereka hanya peduli pada berapa uang yang akan didapat. Mereka hanya memihak kepada Capres yang mau membeli suaranya. Pemilih perempuan ini sifatnya sangat pragmatis layaknya seorang pedagang yang memburu laba. Mereka berpegang teguh prinsip “uangmu untukku suaraku untukmu!”
Tim sukses Capres paham cara mengelola pemilih perempuan jenis ini. Seperti saat Pemilihan Legislatif (Pileg) yang lalu, orang-orang dari Tim Sukses Capres pasti melakukan serangan fajar untuk bagi-bagi uang kepada ibu-ibu agar memilih Capres seperti yang dikehendaki. Siapa yang memberikan uang lebih banyak, memiliki peluang besar mendulang suara dari pemilih perempuan.
Praktek money politic seperti itu dipastikan masih mewarnai Pilpres kali ini. Serangan money politic ini biasanya diarahkan kepada pemilih perempuan, khususnya ibu-ibu, karena terbukti lebih efektif. Jika demikian, praktek money politic ini pun bisa digunakan sebagai senjata ampuh untuk mengarahkan pemilih perempuan agar tidak memilih Capres perempuan.
Last but not least, pemilih perempuan tidak memilih Capres perempuan karena memilih menjadi Golongan Putih alias Golput. Memilih adalah hak bukan kewajiban politik, maka pemilih perempuan bisa tidak menggunakan hak pilihnya saat Pilpres. Mereka memutuskan tidak memilih salah satu Capres, khususnya Capres perempuan, karena ketiga Capres yang ada dinilai belum sesuai harapan yang diidealkan. Akhirnya, tersisa satu pertanyaan: Anda termasuk pemilih perempuan yang mana? *Awi Wiyono, Citizen Journalist
Ayo Menulis
Tips & Strategi Agar Tulisan Anda
di Muat Media Massa
Klik banner di bawah ini:
0 comments:
Post a Comment