Menonton acara televisi sebenarnya boleh dan baik-baik saja bagi anak-anak, remaja dan orang dewasa. Asalkan aktivitas menonton TV tersebut tidak dilakukan secara berlebihan, acara yang ditonton sesuai dengan usia, dan khusus bagi anak-anak harus ada kontrol/pengawasan dari orang tua.
Namun dalam kenyataan, sebagian besar anak-anak menonton TV secara berlebihan, bahkan sangat ketergantungan (menyandu). Ketergantungan pada TV ini tentu menjadi masalah karena:
1. Belum terbentuk kebiasaan menonton TV yang kritis
2. Kebanyakan acara TV tidak aman/sehat untuk anak
3. banyak orangtua belum paham dampak negatif TV
4. Peraturan penyiaran kurang melindungi pemirsa anak.
Merujuk penelitian di Amerika Serikat, anak yang menghabiskan waktu tiga hingga empat jam di depan layar televisi, ditemukan sejumlah fakta: (1) mereka mati rasa terhadap ancaman kekerasan, (2) mereka suka menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, (3) mereka menirukan tindakan kekerasan yang tampak di televisi, dan (4) mereka selalu bisa mengidentifikasi diri sebagai pelaku atau korban kekerasan.
Marie Winn, penulis The Plug-In Drug (1977) yang menyebut anak-anak sebagai "passive, zombie-like" saat berada di depan pesawat TV. Winn menganalogikan TV sebagai drugs, yang sebagaimana obat bius atau alkohol, membuat pemirsa (anak) ketagihan (Milton Chen, Mendampingi Anak Menonton Televisi, 2005).
Bagaimana dengan pertelevisian Indonesia? Berikut beberapa data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia :
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560 – 1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasa, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. Saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam X 7 hari = 168 jam.
4. 40 % waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Berdasarkan data tersebut tampak jelas ada potensi masalah besar dalam relasi anak-anak dan program siaran TV. Studi tentang efek siaran TV bisa dijelaskan dengan teori belajar sosial (social learning) yang dikemukakan oleh Albert Bandura tahun 1977.
Bandura mengungkapkan, ada tiga tahap masuknya dampak negatif siaran TV ke dalam proses konsep diri anak. Pertama, mula-mula anak (penonton) mempelajari metode agresi setelah melihat contoh/model (observational learning). Selanjutnya, kemampuan anak untuk mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition). Akhirnya anak tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization).
Jadi, realita siaran TV yang banyak mengandung kekerasan dan prilaku menyimpang lainnya, mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral, dan menumpulkan perasaan anak sebagai penonton TV (Nina M. Armando dalam Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, 2000).
Lebih detail, dampak negatif dari menonton televisi berlebihan adalah...
1. Anak 0–4 tahun, menggangu pertumbuhan otak, menghambat pertumbuhan berbicara, kemampuan herbal membaca maupun memahaminya, menghambat anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan.
2.Anak 5-10 tahun, meningkatkan agresivitas dan tindak kekerasan, tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan
3.Berprilaku konsumtif karena rayuan iklan
4.Mengurangi kreatifitas, kurang bermain dan bersosialisasi, menjadi manusia individualis dan sendiri
5.Televisi menjadi pelarian dari setiap keborosan yang dialami, seolah tidak ada pilihan lain
6.Meningkatkan kemungkinan obesitas (kegemukan) kaena kurang berkreativitas dan berolahraga.
7.Merenggangkan hubungan antar anggota keluarga, waktu berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga tergantikan dengan nonton TV, yang cendrung berdiam diri karena asik dengan jalan pikiran masing-masing.
8. Matang secara seksual lebih cepat asupan gizi yang bagus adegan seks yang sering dilihat menjadikan anak lebih cepat matang secara seksual, ditambah rasa ingin tahu pada anak dan keinginan untuk mencoba adegan di TV semakin menjerumuskan anak.
Seteleh mengetahui begitu besar dampak siaran TV bagi anak, seharusnya orang tua membatasi waktu menonton, menyeleksi, mendampingi, dan mengawasi, program siaran TV yang ditonton anak-anak.
Peranan Orang Tua
Setiap orang tua memiliki tanggungjawab untuk selalu mengawasi dan memperhatikan perkembangan anaknya. Orang tua harus mampu mengantisipasi masalah sekecil apapun yang berdampak buruk terhadap anaknya, khususnya mengenai aktivitas menonton siaran TV yang dampak negatifnya terlihat nyata.
Dari begitu banyak dampak yang diakibatkan oleh program siaran TV, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua, diantaranya:
1.Pilih acara yang sesuai dengan usia anak Jangan biarkan anak-anak menonton acara yang tidak sesuai dengan usianya, walaupun ada acara yang memang untuk anak-anak, perhatikan dan analisa apakah sesuai dengan anak-anak (tidak ada unsur kekerasan, atau hal lainnya yang tidak sesuai dengan usia mereka).
2.Dampingi anak memonton TV Tujuannya adalah agar acara televisi yang mereka tonton selalu terkontrol dan orangtua bisa memperhatikan apakah acara tersebut masih layak atau tidak untuk di tonton.
3. Letakan TV di ruang tengah, hindari menyediakan TV dikamar anak. Dengan meyimpan TV diruang tengah, akan mempermudah orang tua dalam mengontrol tontonan anak-anaknya, serta bisa mengantisipasi hal yang tidak orang tua inginkan, karena kecendrungan rasa ingin tahu anak-anak sangat tinggi.
4.Tanyakan acara favorit mereka dan bantu memahami pantas tidaknya acara tersebut . Diskusikan bersama anak setelah menonton, ajak mereka menilai karakter dalam acara tersebut secara bijaksana dan positif
5.Ajak anak ke luar rumah untuk menikmati alam dan lingkungan, bersosialisasi secara positif dengan orang lain. Acara yang bisa dilakukan misalnya hiking, tamasya, siraturahim tempat sanak keluarg dan hal lainnya yang bisa membangun jiwa sosialnya.
6.Perbanyak membaca buku, letakkan buku ditempat yang mudah dijangkau anak, ajak anak ke toko buku dan perpustakaan.
7.Perbanyak mendengarkan radio, memutar kaset atau mendengarkan musik sebagai mengganti menonton TV.
Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena dengan mendengarkan radio, anak akan terlatih kemampuan mendengarnya, jika kita bandingkan denga menonton televisi hanya merangsang anak untuk mengikuti alur cerita tanpa menganalisis lebih lanjut dari apa yang dialihat dan dengar. Begitu juga dengan mendengarkan musik lebih baik dilakukan bila dibandingkan dengan menonton televisi karena bisa melatih perkembangan imajinasi anak. (Awi Wiyono)
Namun dalam kenyataan, sebagian besar anak-anak menonton TV secara berlebihan, bahkan sangat ketergantungan (menyandu). Ketergantungan pada TV ini tentu menjadi masalah karena:
1. Belum terbentuk kebiasaan menonton TV yang kritis
2. Kebanyakan acara TV tidak aman/sehat untuk anak
3. banyak orangtua belum paham dampak negatif TV
4. Peraturan penyiaran kurang melindungi pemirsa anak.
Merujuk penelitian di Amerika Serikat, anak yang menghabiskan waktu tiga hingga empat jam di depan layar televisi, ditemukan sejumlah fakta: (1) mereka mati rasa terhadap ancaman kekerasan, (2) mereka suka menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, (3) mereka menirukan tindakan kekerasan yang tampak di televisi, dan (4) mereka selalu bisa mengidentifikasi diri sebagai pelaku atau korban kekerasan.
Marie Winn, penulis The Plug-In Drug (1977) yang menyebut anak-anak sebagai "passive, zombie-like" saat berada di depan pesawat TV. Winn menganalogikan TV sebagai drugs, yang sebagaimana obat bius atau alkohol, membuat pemirsa (anak) ketagihan (Milton Chen, Mendampingi Anak Menonton Televisi, 2005).
Bagaimana dengan pertelevisian Indonesia? Berikut beberapa data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia :
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560 – 1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasa, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. Saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam X 7 hari = 168 jam.
4. 40 % waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Berdasarkan data tersebut tampak jelas ada potensi masalah besar dalam relasi anak-anak dan program siaran TV. Studi tentang efek siaran TV bisa dijelaskan dengan teori belajar sosial (social learning) yang dikemukakan oleh Albert Bandura tahun 1977.
Bandura mengungkapkan, ada tiga tahap masuknya dampak negatif siaran TV ke dalam proses konsep diri anak. Pertama, mula-mula anak (penonton) mempelajari metode agresi setelah melihat contoh/model (observational learning). Selanjutnya, kemampuan anak untuk mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition). Akhirnya anak tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization).
Jadi, realita siaran TV yang banyak mengandung kekerasan dan prilaku menyimpang lainnya, mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral, dan menumpulkan perasaan anak sebagai penonton TV (Nina M. Armando dalam Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, 2000).
Lebih detail, dampak negatif dari menonton televisi berlebihan adalah...
1. Anak 0–4 tahun, menggangu pertumbuhan otak, menghambat pertumbuhan berbicara, kemampuan herbal membaca maupun memahaminya, menghambat anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan.
2.Anak 5-10 tahun, meningkatkan agresivitas dan tindak kekerasan, tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan
3.Berprilaku konsumtif karena rayuan iklan
4.Mengurangi kreatifitas, kurang bermain dan bersosialisasi, menjadi manusia individualis dan sendiri
5.Televisi menjadi pelarian dari setiap keborosan yang dialami, seolah tidak ada pilihan lain
6.Meningkatkan kemungkinan obesitas (kegemukan) kaena kurang berkreativitas dan berolahraga.
7.Merenggangkan hubungan antar anggota keluarga, waktu berkumpul dan bercengkrama dengan anggota keluarga tergantikan dengan nonton TV, yang cendrung berdiam diri karena asik dengan jalan pikiran masing-masing.
8. Matang secara seksual lebih cepat asupan gizi yang bagus adegan seks yang sering dilihat menjadikan anak lebih cepat matang secara seksual, ditambah rasa ingin tahu pada anak dan keinginan untuk mencoba adegan di TV semakin menjerumuskan anak.
Seteleh mengetahui begitu besar dampak siaran TV bagi anak, seharusnya orang tua membatasi waktu menonton, menyeleksi, mendampingi, dan mengawasi, program siaran TV yang ditonton anak-anak.
Peranan Orang Tua
Setiap orang tua memiliki tanggungjawab untuk selalu mengawasi dan memperhatikan perkembangan anaknya. Orang tua harus mampu mengantisipasi masalah sekecil apapun yang berdampak buruk terhadap anaknya, khususnya mengenai aktivitas menonton siaran TV yang dampak negatifnya terlihat nyata.
Dari begitu banyak dampak yang diakibatkan oleh program siaran TV, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua, diantaranya:
1.Pilih acara yang sesuai dengan usia anak Jangan biarkan anak-anak menonton acara yang tidak sesuai dengan usianya, walaupun ada acara yang memang untuk anak-anak, perhatikan dan analisa apakah sesuai dengan anak-anak (tidak ada unsur kekerasan, atau hal lainnya yang tidak sesuai dengan usia mereka).
2.Dampingi anak memonton TV Tujuannya adalah agar acara televisi yang mereka tonton selalu terkontrol dan orangtua bisa memperhatikan apakah acara tersebut masih layak atau tidak untuk di tonton.
3. Letakan TV di ruang tengah, hindari menyediakan TV dikamar anak. Dengan meyimpan TV diruang tengah, akan mempermudah orang tua dalam mengontrol tontonan anak-anaknya, serta bisa mengantisipasi hal yang tidak orang tua inginkan, karena kecendrungan rasa ingin tahu anak-anak sangat tinggi.
4.Tanyakan acara favorit mereka dan bantu memahami pantas tidaknya acara tersebut . Diskusikan bersama anak setelah menonton, ajak mereka menilai karakter dalam acara tersebut secara bijaksana dan positif
5.Ajak anak ke luar rumah untuk menikmati alam dan lingkungan, bersosialisasi secara positif dengan orang lain. Acara yang bisa dilakukan misalnya hiking, tamasya, siraturahim tempat sanak keluarg dan hal lainnya yang bisa membangun jiwa sosialnya.
6.Perbanyak membaca buku, letakkan buku ditempat yang mudah dijangkau anak, ajak anak ke toko buku dan perpustakaan.
7.Perbanyak mendengarkan radio, memutar kaset atau mendengarkan musik sebagai mengganti menonton TV.
Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena dengan mendengarkan radio, anak akan terlatih kemampuan mendengarnya, jika kita bandingkan denga menonton televisi hanya merangsang anak untuk mengikuti alur cerita tanpa menganalisis lebih lanjut dari apa yang dialihat dan dengar. Begitu juga dengan mendengarkan musik lebih baik dilakukan bila dibandingkan dengan menonton televisi karena bisa melatih perkembangan imajinasi anak. (Awi Wiyono)
0 comments:
Post a Comment