Pembangunan mal atau pusat perbelanjaan tidak selalu berkutat di ranah ekonomi. Ada kalanya pendirian mal diseret ke arena politik. Stigma kapitalisme mal sering dijadikan senjata untuk melunturkan citra populis lawan politik. Kepala Daerah yang rajin membangun mal diasosiasikan sebagai Gubernur/Bupati yang tidak berpihak pada rakyat kecil, sehingga tidak layak untuk dipilih lagi.
Skema politisasi pembangunan mal itu kini memanaskan suhu politik Kabupaten Rembang menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar 26 April 2010. Beberapa tokoh yang berniat maju sebagai calon bupati sengaja memanfaatkan rencana pembangunan mal di area parkir Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPK) ini untuk memudarkan popularitas Bupati Rembang Moch. Salim (Salim) yang ikut berkompetisi lagi memperebutkan jabatan bupati untuk periode tahun 2010-2015.
Selain Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Fraksi Bintang Keadilan (FBK), ada dua tokoh yang bersuara lantang di media massa, menolak rencana pembangunan mal ini. Mereka adalah Wakil Bupati Rembang Yaqut Cholil Qoumas dan bakal calon bupati dari jalur independen Yahya Amin.
Inti penolakan mereka adalah secara sosial, kultural, dan ekonomi masyarakat Rembang dinilai belum siap menerima ekses dari keberadaan mal. Mal yang berkarakter kapitalis akan mematikan kehidupan ekonomi rakyat kecil. Mal juga hanya akan menumbuhkan budaya konsumerisme yang sangat bertentangan dengan program ekonomi kerakyatan.
Pernyataan mereka memang terkesan membela kepentingan rakyat kecil. Namun sesungguhya, pernyataan itu masih berupa retorika yang lumrah muncul disaat penyelenggaraan Pilkada. Menggemakan statement pro rakyat kecil hanyalah cara klasik untuk mencari simpati rakyat.
Sah-sah saja bakal calon bupati membangun opini publik memperpopulis citra diri. Namun mereka tidak boleh gegabah dalam menggulirkan issue untuk menyerang lawan politik. Sebab jika salah momentum, issue itu justru menjadi blunder yang merugikan citra mereka sendiri.
Lalu pertanyaannya, apakah penolakan rencana pembangunan mal ini efektif untuk memoncerkan citra populis bakal calon bupati itu dan sekaligus meredupkan citra populis calon bupati incumbent Moch. Salim?
Sulit
Mencermati realita politik terkini Rembang, politisasi rencana pembangunan mal tersebut sulit menembus kelemahan Salim. Isu penolakan mal tidak cukup kuat untuk membentuk opini publik yang mampu memudarkan citra populis calon bupati yang diusung oleh Partai Demokrat ini.
Mengapa? Program empat pilar yang digulirkan Salim mampu memenuhi harapan rakyat miskin Rembang. Selama lima tahun program ini dijalankan, mayoritas rakyat miskin Rembang merasa terbantu oleh kebijakan populis semacam sekolah dan berobat gratis.
Rakyat juga menilai positif gencarnya pembangunan infrastruktur, seperti perbaikan jalan hingga ke pedesaan, pembangunan embong untuk irigasi pertanian, dan perluasan pelabuhan untuk mempelancar pendaratan ikan nelayan. Rakyat pun tidak mungkin menutup mata adanya program pemberdayaan ekonomi rakyat, semacam PNPM Mandiri.
Keberhasilan program empat pilar membuat citra populis Salim sulit terhapus dari memori mayoritas rakyat Rembang. Artinya, figur kepemimpinan Salim masih dipercaya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah penghasil garam ini.
Jadi seandainya pendirian mal direalisasikan, citra populis Salim tetap terjaga. Dengan kata lain, penolakan pendirian mal tidak efektif untuk melawan arus politik calon bupati yang berlatar belakang pengusaha ini.
Alur logikanya begini, adanya kepercayaan dari rakyat pasti meningkatkan daya pengaruh Salim. Kekuatan pengaruh akan mengefektifkan upaya Salim menyampaikan pesan untuk memenuhi harapan pemilih yang mayoritas berkarakter pragmatis.
Pesan yang pasti disuntikkan Salim ke memori pemilih pragmatis adalah pembangunan mal dijadikan bagian dari program peningkatan ekonomi rakyat, terutama untuk memperluas lapangan pekerjaan dan pengembangan pemasaran produk-produk asli Rembang, seperti batik, sirup kawis, dan ikan laut olahan.
Pesan yang sarat harapan ini tentu mampu mengikis stigma kapitalisme mal. Citra mal berubah menjadi pusat perbelanjaan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Akhirnya, kehadiran mal bisa diterima karena menjadi bagian dari solusi untuk memajukan perekonomian rakyat.
Nah, jika opini publik sudah terbentuk seperti itu, Salim akan memilih wakil yang bertipe pemimpin Solidarity Maker (penggalang dukungan), maka ia pun siap mendulang mayoritas suara rakyat!
Meski demikian, Salim bukannya tidak memiliki kelemahan. Masih ada celah yang bisa digunakan bakal calon bupati lain untuk mengalahkannya. Salah satu cara yang momentumnya paling tepat adalah menggulirkan issue kasus korupsi.
Hanya masalahnya, adakah bakal calon bupati lain yang memiliki bukti valid dan berani mengungkapkan ke publik, bahwa calon bupati incumbent melakukan tindak pidana korupsi? Kita tunggu saja. (Awi Wiyono/Citizen Journalist)
2 comments:
bagus opininya, mas asal rembang ya? salam kenal, saya dari pamotan.
menurut saya kekuatan salim terutama terletak pada modal keuangannya yang besar, pada pilkada yang lalu money politik sudah jadi rahasia umum.mungkin begitulah nasib rakyat rembang mas selalu dibodohi oleh elite politik, kasihan mereka tidak tahu karena berpendidikan rendah.salim selalu berkata bahwa buat apa korupsi wong dia sudah kaya dari usaha ikan dan kayunya, gaji bupati gk ada papanya katanya....
thanks ya responsnya...
Post a Comment