TV Nasional: Bisnis Hiburan Yang Memaksakan Diri

Kehadiran televisi (TV) memeriahkan suasana. Namun pada saat bersamaan, TV mengintervensi segenap kehidupan. Langsung atau tidak, TV turut andil dalam pembentukan konsep kepribadian, sosialisasi, dan pemaknaan budaya. TV berhasil menjadi struktur atas kehidupan masyarakat.

Momentum seperti sekarang, 24 Agustus, saat pertelevisian menginjak usia 35 tahun -(TVRI 1962-1997, RCTI 1989, SCTV 1990- bisa digunakan untuk melihat berbagai hal menyangkut TV. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana perkembangan dan peranan TV bagi masyarakat dan bangsa?

Memilih dengan Hati

Musim Pilkada tiba. Ratusan pasang tokoh/politisi mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di 246 daerah di Indonesia yang digelar tahun 2010. Mereka memperebutkan jabatan Gubernur, Walikota, atau Bupati.

Tidak masalah jumlah calon kepala daerah melimpah, Selain lumrah di negara demokrasi, hal ini menjadi bukti di daerah tidak kekurangan calon pemimpin. Rakyat pun memiliki banyak pilihan, sehingga bisa leluasa menentukan pemimpin yang disukai.


Masalahnya, kuantitas sering tidak berujung pada kualitas. Melimpahnya calon kepala daerah belum menjamin terpilihnya Gubernur, Walikota dan Bupati yang mampu memajukan daerah, menyejahterakan dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat.


Terbukti hingga kini masih banyak kepala daerah yang menyakiti hati rakyat. Mereka sibuk memperkaya diri dengan dengan cara korupsi, kolusi dan nepotisme. Untungnya beberapa diantaranya kini meringkuk dibalik jeruji penjara.


Transaksional


Ironisnya, realitas buram tersebut kemungkinan besar masih mewarnai hasil akhir Pilkada tahun ini. Faktor pemicunya adalah pelaksanaan demokrasi mengalami distorsi. Pilkada langsung yang seharusnya menjadi wadah ideal partisipasi rakyat untuk menentukan pemimpin daerah yang berkualitas, justru menyimpang menjadi arena transaksi material belaka.


Gejalanya cukup jelas. Tokoh-tokoh yang maju dalam Pilkada tahun ini masih didominasi oleh figur berkarakter transaksional. Mereka adalah calon-calon kepala daerah yang kepemimpinannya berbasis transaksi ekonomis demi kepentingan beberapa pihak sesuai dengan kontrak yang disepakati.


Mereka kini sibuk bertransaksi dan menggalang dana untuk memenangkan Pilkada. Sebagian dilakukan dengan cara retail, misalnya dengan memungut puluhan juta rupiah dari setiap orang yang ingin lolos seleksi CPNS (calon pegawai negeri sipil). Cara lainnya adalah dengan menerima “sumbangan” dana puluhan miliar rupiah dari para investor yang bernafsu mengeruk kekayaan daerah.


Dari usaha ini, santer terdengar ada calon kepala daerah (Bupati) yang berhasil mengantongi puluhan miliar rupiah. Bahkan, seorang Bupati yang berambisi mempertahankan jabatannya, telah mendapatkan lebih dari Rp100miliar. Dana sebesar ini, digunakan untuk kampanye, pencitraan, dan tentu saja untuk belanja suara rakyat.


Mayoritas calon kepala daerah masih menyakini, money politic (politik uang) menjadi senjata ampuh untuk memenangkan kompetisi. Tekanan ekonomi dan prinsip pragmatis sebagian besar rakyat menjadi alasan terkuat. Demi memenuhi kebutuhan biologis (perut) rakyat rela menjual murah suaranya. Transaksi politis terjadi saat rakyat menerima uang recehan dari calon kepala daerah.


Akhirnya apa yang terjadi? Berlanjutlah
kekuasan yang bercorak oligarkis dan alikasi, sehingga distribusi sumber-sumber kekayaan daerah terus dikuasai dan dinikmati oleh segelintir elite orang berduit. Mereka tidak lagi terbebani akuntabilitas, meski rakyat menderita berkepanjangan.

Kalahkan


Saya berharap kekuasaan keji tersebut tidak berlanjut. Semoga kalkulasi calon kepala daerah transaksional salah, sehingga kalah dalam Pilkada. Namun harapan ini hanya bisa menjadi kenyataan, jika mayoritas rakyat mendukung dengan menyadari kesalahan yang dibuat lima tahun silam. Rakyat mengubah sikap, lalu kembali berdemokrasi dengan benar. Berani menanggalkan logika kapital dengan menolak segala bentuk praktek politik uang.


Saatnya menghidupkan spirit suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara rakyat yang hanya layak dipersembahkan untuk pemimpin transformatif. Yakni calon kepala daerah yang mengedepankan moralitas, mendorong nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, serta memahami aspirasi dan kebutuhan rakyat.


Tidak mudah memang menemukan calon kepala daerah transformatif. Selain banyak godaan, jumlahnya sedikit. Mungkin seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Namun tidak boleh menyerah. Meski ditertawakan, saya yakin rakyat masih memiliki hati nurani. Layaknya magnet, hati nurani mampu menemukan pemimpin ideal yang tersembunyi.


Hati nurani adalah peneguh pikiran dan sikap agar rakyat selalu bertindak demi kebenaran obyektif, salah satunya memilih pemimpin transformatif. Oleh karena itu, hati nurani selalu membimbing rakyat agar memilih calon kepala daerah yang memiliki rekam jejak integritas kuat, tidak cacat moral dan hukum.


Calon kepala daerah tersebut juga memiliki kapabilitas yang mempuni dan teruji. Kemampuannya bisa dilihat sejak memaparkan program-program dan cara pelaksanannya yang realistis. Ia jauh dari permainan retorika dan obral janji yang memabukkan rakyat.


Tidak kalah pentingnya, calon kepala daerah tersebut harus memegang teguh akuntabilitas, siap bertanggungjawab terhadap segala resiko dari jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Ia tidak banyak berdalih dan berkeluh kesah saat rakyat berdemontrasi menagih janji. Kritikan justru dijadikan sebagai cambuk untuk meluruskan niat dan memperbaiki diri agar jalannya pembangunan benar-benar untuk kepentingan seluruh rakyat.


Akhirnya, semoga kali ini rakyat mengikuti hati nurani!

*Awi Wiyono, Pegiat Citizen Journalism


Tulisan Anda
bisa dimuat & mejeng
di koran, majalah, tabloid,
dan media massa terkenal!

Caranya klik banner di bawah ini:

Pilihan Tepat Penulis Hebat


Ikuti strategi jitunya,
tulisan Anda
pasti cepat dimuat
di media massa ternama!
Ratusan ribu...
bahkan jutaan rupiah
masuk ke rekening bank Anda.