Batu Seribu Perlu Image Baru



Obyek wisata alam Batu Seribu Sukoharjo, Jawa Tengah, belum berhasil menjadi tujuan utama wisatawan. Sejak dibangun awal tahun 1990-an, daya tarik obyek wisata yang berlokasi di desa Gentan Kecamatan Bulu ini belum mampu memikat banyak pengunjung.

Minimnya jumlah pengunjung Batu Seribu terlihat saat libur Hari Raya Idul Fitri tahun 2009. Menurut petugas penjual tiket masuk, saat libur lebaran Batu Seribu dikunjungi sekitar 1500 orang. Pada hari biasa, hanya dikunjungi 50-60 orang. Akibatnya, Batu Seribu belum diandalkan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Batu Seribu berpotensi menjadi penyokong PAD. Nilai lebih Batu Seribu adalah keindahan alam yang eksotis,

karena memadukan keelokan gunung, lembah, hutan, dan sendang. Keindahan ini semakin hidup kala dikaitkan dengan legenda atau mitos yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, seperti kisah Bandung Bondowoso, Umbul Pacinan, dan Sendang Ayu.

Namun keindahan Batu Seribu terhapus oleh buruknya perawatan. Banyak fasilitas rekreasi yang berkarat dan rusak. Beberapa pohon besar tumbang menghalangi jalan menuju area Batu Seribu. Kesegaran sumber air yang dulu mengalir apik, kini mampat penuh sampah.

Batu Seribu juga minim fasilitas rekreasi, terutama fasilitas rekreasi modern yang disukai masyarakat. Selain kenaturalan alam, Batu Seribu kini hanya mengandalkan satu kolam renang.

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo seharusnya segera mempercantik Batu Seribu. Caranya dengan merevitalisasi fasilitas rekreasi dan membuat image (citra) baru yang memoncerkan daya tarik Batu Seribu.

Tidak ada salahnya pengelola kembali mengidentifikasi dan menggali potensi keunikan Batu Seribu. Keunikan bisa diambil dari unsur-unsur keindahan gunung, lembah, hutan, sendang, atau mitos yang ada. Unsur yang terunik dimaskotkan untuk membangun image baru, yakni image yang mampu mempertegas deferensiasi dengan obyek wisata daerah lain.

Kemudian pengelola menambah dan memperbaiki fasilitas-fasilitas rekreasi yang cocok dengan image baru tersebut. Semua faslitas rekreasi ini tentu saja harus dipoles dengan sentuhan seni agar keindahan dan kebersihan Batu Seribu terjamin, sehingga menarik dan nyaman untuk dikunjungi. (Awi Wiyono/Kompas, 1 Desember 2009)

Menjual Keunikan Dampo Awang




Taman Rekreasi Pantai Kartini atau TRPK Rembang kini bernama Dampo Awang Beach. Nama baru ini muncul setelah Pemerintah Kabupaten Rembang memberikan hak pengelolaan obyek wisata ini kepada pihak swasta. Tujuan pemberian nama baru ini adalah untuk menciptakan image (citra) baru yang mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.

Memberi nama baru menjadi Dampo Awang Beach wajar dilakukan karena cara ini adalah bagian dari strategi memperbaiki image jika sebuah obyek wisata tidak berdaya tarik lagi. Namun, penggantian nama tidak bisa dilakukan dengan serampangan. Nama baru harus bisa lebih mewakili obyek wisata tersebut sehingga tidak mengaburkan image yang ingin dicapai.

Lalu, apakah Dampo Awang Beach nama yang tepat?

Bukankah nama Kartini lebih familiar bagi masyarakat karena memiliki kedekatan sejarah? Pengelola memang memiliki alasan yang lebih detail. Namun, jika alasannya karena faktor historis, nama Kartini lebih kuat memberikan nilai positif bagi citra wisatawan.

Nama RA Kartini lebih merepresentasikan Rembang. Catatan perjalanan hidup pejuang emansipasi wanita ini menjadi bagian sejarah Rembang. Bukti historisnya kini diabadikan di Museum Kartini dan Makam Kartini sehingga eksistensi TRPK menjadi bagian kesejarahan tersebut. Jadi, Rembang dengan brand Kartini justru lebih memikat wisatawan.

Namun, jika nama baru untuk menciptakan deferensiasi dengan pantai lain, nama Dampo Awang lebih mengena. Selama ini terjadi bias informasi, setiap disebut Pantai Kartini, perhatian wisatawan mengarah pada Pantai Kartini di Jepara. Nama Dampo Awang Beach menjadi pembeda yang jelas antara pantai di Rembang dan Jepara.

Selain nama baru, keberhasilan perbaikan image Dampo Awang Beach ditentukan oleh revitalisasi fasilitas pariwisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Semakin bagus fasilitas pariwisata, semakin berpeluang besar dikunjungi banyak wisatawan.

Fasilitas rekreasi yang lama bisa tetap dipertahankan, tetapi perlu dikemas lebih bervariatif lagi. Fasilitas baru harus mempunyai nilai tambah dan memiliki ciri khas yang membedakan dengan fasilitas-fasilitas di obyek wisata daerah lain.

Namun, apa pun fasilitas yang akan ditambahkan, seharusnya ada penegasan identitas yang berkaitan dengan Dampo Awang. Sebagai maskot, keunikan Dampo Awang harus ditonjolkan di lokasi wisata tersebut sehingga memperkuat perbedaan dengan obyek wisata pantai lain.

Saat ini baru ada Jangkar Dampo Awang yang dipajang di anjungan pantai. Jauh lebih menarik jika pengelola memajang benda-benda bersejarah peninggalan Dampo Awang lainnya, misalnya perahu Dampo Awang. Jika tidak memungkinkan, pengelola bisa membuat dan memasang replikanya. Penting juga membuat museum mini untuk memajang pernik-pernik yang berkaitan dengan Dampo Awang. (Awi Wiyono/Kompas, 28 Juli 2009)

Menanti Museum Batik Lasem



Pemerintah Kabupaten Rembang akan membangun museum batik di Lasem. Dana yang dianggarkan untuk merealisasikan museum batik ini sebesar Rp2miliar dan ditargetkan bisa beroperasi tahun depan.

Museum ini akan mengoleksi benda-benda kuno yang berkaitan dengan sejarah batik Lasem. Banyaknya bukti dan catatan sejarah batik tulis di Lasem, karena kota kecamatan yang berlokasi 12 Km arah Timur dari kota Rembang ini sejak dulu terkenal sebagai pusat industri batik tulis pesisiran.

Kehadiran Museum Batik Lasem layak dinanti, karena

keberadaanya akan melengkapi museum-museum batik yang telah mapan, seperti Museum Batik Pekalongan, Museum Batik Danarhadi Solo, dan Museum Batik Joglo Cipto Wening Yogyakarta.

Masyarakat akan memperoleh banyak keuntungan dari keberadaan Museum Batik Lasem. Setidaknya masyarakat mendapat satu lembaga lagi yang memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai pusat dokumentasi, penelitian ilmiah, penyaluran ilmu, penikmatan karya seni, perkenalan kebudayaan antar daerah dan bangsa, obyek wisata, dan suaka budaya.

Namun masalahnya, masyarakat sedang kurang berminat mengunjungi museum. Citra kumuh museum menjadi salah satu penyebabnya. Menurut Arkeolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Daud Aris Tanudirjo, sejak otonomi daerah mayoritas dari 286 museum milik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota banyak yang tidak terawat. Wajar bila masyarakat enggan berkunjung ke lembaga kebudayaan ini.

Galeri Modern

Pertanyaannya, apakah Museum Batik Lasem nanti bernasib sama menjadi bagian dari museum-museum kumuh tersebut? Semoga saja tidak. Untuk itu, Museum Batik Lasem harus hadir dalam format art gallery atau museum seni yang bercitra modern.

Museum Batik Lasem tentu harus memenuhi banyak syarat untuk menjadi galeri/museum seni yang bercitra modern. Mengacu pendapat mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati, dasar untuk menjadi museum seni yang modern adalah memiliki banyak koleksi benda-benda antik yang berkualitas. Artinya, Museum Batik Lasem harus memiliki banyak koleksi batik kuno yang bernilai artistik tinggi.

Sebagai contoh, Museum Batik Danarhadi mengoleksi lebih dari 10.000 batik kuno berkualitas tinggi. Museum ini bisa memamerkan secara bergiliran ribuan koleksi batik antik, sehingga masyarakat tidak bosan mengunjunginya. Nah, kira-kira berapa koleksi batik antik yang akan dipamerkan di Museum Batik Lasem? Diharapkan bisa melebihi koleksi Museum Danarhadi.

Modernitas museum seni identik dengan efektifitas pelaksanaan tata kelolanya. Mengacu pendapat pakar Museologi dari Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr Nurhadi Magetsati, museum modern harus dikelola oleh orang-orang yang handal dalam hal preservasi. Maksudnya, pengelola Museum Batik Lasem harus memiliki kompetensi dan kemampuan manajemen administrasi sehingga bisa bekerja efektif dalam pemeliharaan fisik dan administrasi dari berbagai koleksi benda-benda antik nya.

Menunjang tertib administratif itu, Museum Batik Lasem perlu menggunakan sistem teknologi informasi dan memasang peralatan modern, seperti kamera tersembunyi (CCTV) dan microradio untuk mengamankan koleksi batik. Hal ini penting karena belakangan ini banyak kasus pencurian benda-benda kuno berharga tinggi koleksi museum.

Museum Batik Lasem juga perlu tampil dalam format museum maya (cyber museum). Langkah ini untuk menyikapi fenomena keseharian masyarakat yang mulai akrab dengan teknologi informasi global dan media internet.

Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang Tubagus P Svarajat pernah mengatakan, museum maya merupakan solusi dengan perspektif futurisik. Museum maya jika dirancang menarik, interaktif, dengan aplikasi antarmuka (interface) yang nyaman, bisa mendatangkan pengunjung dari mana saja, karena rentang jarak dan waktu bukan lagi menjadi kendala.

Meski demikian, Museum Batik Lasem tetap harus tampil konvesional. Kesemua unsur modernitas museum harus tetap dikemas di dalam gedung berarsitektur elegan yang berdiri di lokasi strategis, sehingga masyarakat menyukai dan mudah mengaksesnya.

Faktor terpenting, modernitas museum harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Pengelola Museum Batik Lasem harus memiliki keahlian dan kemampuan akademik. Mereka harus mampu membuat program-program kerja berkualitas yang mudah memikat banyak pengunjung.

Untuk meningkatkan kualitas calon pengelola Museum Batik Lasem, sekarang mereka seharusnya rajin mengasah kemampuan dengan cara belajar museologi di lembaga-lembaga terkait dan museum-museum batik yang sudah maju.

Ada baiknya mereka melakukan studi banding ke Museum Batik Pekalongan dan Museum Batik Danarhadi Solo. Tujuannya agar mendapatkan pengalaman praktis yang tepat untuk mengembangkan Museum Batik Lasem.

Tidak bermaksud mengabaikan karakter kedaerahan, pengelola Museum Batik Lasem boleh mengadopsi paradigma manajemen Museum Batik Pekalongan dan Museum Danarhadi Solo. Kedua museum batik ini layak menjadi acuan, karena keduanya dinilai berhasil menjadi museum batik yang mampu menjawab tantangan zaman.

Libatkan Publik

Menjadikan modern Museum Batik Lasem membutuhkan dana yang besar. Faktor dana sering membuat Pemkab Rembang kelabakan akibat keterbatasan anggaran. Untuk itu, Pemerintah perlu membuka diri dengan cara melibatkan publik dalam pengelolaan Museum Batik Lasem.

Pemerintah perlu menerapkan paradigma pengelolaan partisipatoris atau sistem konsorsium. Artinya, Pemerintah melibatkan masyarakat, terutama dari kalangan investor, dalam pengelolaan Museum Batik Lasem. Kolaborasi pemerintah dan swasta akan lebih efektif untuk mengembangkan Museum Batik Lasem.

Kehadiran investor memudahkan Museum Batik Lasem mendapatkan dana, sehingga memperlancar pelaksanaan semua program kerja. Akhirnya kerja pengelola museum tidak hanya berkutat pada fungsi pengoleksian benda-benda kuno, tetapi juga mensinergikan fungsi pendidikan, penelitian, pariwisata, hiburan, dan bisnis, sehingga memudahkan menarik perhatian masyarakat. (Awi Wiyono, Suara Merdeka, 27 Agustus 2009)

Langkah Maju Pengobatan HIV/AIDS (1)

Minggu (26/10/1997) di Manila, Filipina, dilangsungkan konggres mengenai penyebaran HIV/AIDS di kawasan Asia Pasifik. Dari sana terdengar kabar adanya kekhawatiran yang besar akan penyebaran penyakit ganas ini dan besarnya biaya untuk penanggulangannya.

Tulisan berikut ini tidak membahas konggres tersebut, melainkan mengenai perkembangannya di Indonesia dan upaya penanggulangannya.

Setiap orang langsung sedih dan seakan hilang semangat hidupnya, kalau dalam tubuhnya kedapatan mengidap HIV/AIDS,

sebab penyakit ini menjanjikan kematian diakhir penderitaan. Bagaimana tidak? Sampai saat ini belum ditemukan obat yang benar-benar mampu mematikan virus yang merapuhkan kekebalan tubuh ini.

Tragisnya lagi, HIV/AIDS ini penyakit yang tidak pilih kasih. Siapapun, entah laki-laki atau perempuan, tua atau bayi, di Indonesia atau di manapun, bisa diserang virus ganas ini. Tidak aneh, jika penderitanya pun sangat plural. Kalau kebetulan kita dihadapkan dengan kasus bayi yang tak berdosa terserang HIV/AIDS, rasa kemanusiaan ini benar-benar tersentuh.

Lebih memprihatinkan lagi, jumlah penderita dan korban HIV/AIDS cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kasus di Indonesia misalnya, menurut catatan Yayasan Pelita Ilmu (YPI) hingga September 1997 jumlah pengidap atau penderita HIV/AIDS adalah 590 orang. Meningkat 89 orang dari tahun sebelumnya yang baru berjumlah 501 orang.

Dari jumlah itu yang meninggal 81 orang. Diproyeksikan hingga tahun 2005 jumlah anak yatim piatu akibat AIDS akan mencapai 200.000-550.000 orang.

Jika dilihat menurut perbedaan jenis kelamin, dari jumlah penderita HIV/AIDS ini 380 orang laki-laki,189 perempuan, serta 21 orang tidak diketahui. Dilihat dari kewarganegaraan, penduduk Indonesia asli berjumlah 405 orang, orang asing 168, serta tidak diketahui 17 orang.

Orang yang berusia 20-29 tahun ternyata paling rentan terhadap HIV/AIDS, yakni 274 orang dari jumlah tadi. Berikutnya yang berusia 30-39 tahun 161 orang, 40-49 tahun 55 orang, 15-19 tahun 31 orang, 50-59 tahun 11 orang, 60 tahun ke atas 3 orang, 1-4 tahun 2 orang, di bawah setahun 2 orang, dan tidak diketahui 51 orang.

Di lihat dari lokasinya, pengidap HIV/AIDS terbanyak, yakni 175 orang tinggal di DKI Jakarta. Berikutnya Irian Jaya, Riau, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Jawa Barat, masing-masing 148,57,42,41,26, dan 24 orang. Sisanya di daerah-daerah laing dan yang paling sedikit terjadi di Sumatera Barat, NTT, Timor Timur, dan Aceh, masing-masing berjumlah seorang.

Di awal kemunculannya, HIV/AIDS diidentikan dengan penyakit kaum homo/biseksual. Ternyata tidaklah begitu, sebab dari kasus di Indonesia saja sebagian besar pengidapnya, yakni 399 orang adalah heteroseksual. Homo/biseksual berada di posisi kedua, yakni 91 orang. Sisanya terjangkit pada saat tranfusi darah 2 orang, hemophiliac 2 orang, transmisi prenatal 4 orang, dan tidak diketahui 86 orang.

Sebuah gambaran buram dan memprihatinkan. Apalagi kalau semua itu harus menjadi realita yang tidak bisa ditolak. Hanya saja, jangan jadikan keprihatinan ini sebagai belenggu dan keputusasaan. Sebaliknya, jadikan cambuk untuk selalu mencari problem solving hingga kita terhindar dari kematian fatal akibat serangan virus gila ini… bersambung... (Awi Wiyono/Harian Ekonomi Neraca,28 Oktober 1997).

Tulisan saya ini berhasil memenangkan Lomba Penulisan Artikel bertema Terobosan Penelitian dan Pengembangan Roche dalam Pengobatan AIDS yang digelar pada 27 Februari 1998 di Jakarta. Dewan juri Lomba Penulisan Artikel ini adalah Dr Sjamsuridjal Djauzi (Yayasan Pelita Ilmu), Marah Sakti Siregar (PWI Jaya), dan dr Syafrizal Muluk (PT Roche Indonesia). Saya mendapat hadiah uang tunai Rp7.000.000,





Ayo Menulis...!
Tulisan Anda
bisa juga jadi juara!


Ikuti tips & strateginya,
klik banner di bawah ini:


Pilihan Tepat Penulis Hebat

Jika Anda berpikir bisa,
Anda bisa jadi penulis jawara!

Langkah Maju Pengobatan HIV/AIDS (2)


Kemajuan Pengobatan AIDS


Sejak fenomena HIV/AIDS merasuki realita kehidupan masyarakat, seluruh pihak yang berkompeten langsung cancut taliwondo, bekerja keras mencari pemecahannya. Di kalangan dokter dan ahli farmasi gencar melakukan penelitian ilmiah agar segera menemukan obat HIV/AIDS.

Tidak ketinggalan para tabib dan ahli obat-obatan tradisional. Mereka pun mencari dan meramu bahan-bahan obat tradisional. Siapa tahu cara ini bisa manjur untuk memerangi HIV/AIDS.
Hasilnya?

Kita memang masih harus menunggu. Tidak perlu bosan, walau harus menunggu entah untuk berapa lama. Namun setidaknya, dari upaya keras mereka sudah ada gejala ke arah diketemukannya obat HIV/AIDS.

Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Peduli AIDS (PDPA) Dr Samsuridjal Djauzi, perkembangan dalam pengobatan HIV/AIDS sudah berjalan cukup menggembirakan.

Sejak para dokter di California, USA, (1981) mendapatkan pasien sejumlah anak-anak muda yang menderita Pneumonia yang ternyata sulit diobati hingga menimbulkan kematian, mereka segera melakukan penelitian secara intensif mengenai penyakit aneh itu. Dalam waktu 3 tahun, penyebabnya sudah diketahui yakni Human Immune Virus (HIV).

Penemuan penyebab AIDS (Acquired Immune Defenciency Syndrome) ini memakan waktu relative singkat, dibanding saat menemukan virus Hepatitis C yang memerlukan waktu 30 tahun.

Setahun kemudian industri farmasi berhasil membuat reagen untuk tes HIV. Menurut Samsuridjal, pada tahun 1985 tes semacam ini bisa dilakukan di Indonesia. Tidak hanya itu, penemuan obat untuk replikasi virus HIV juga cepat berkat penelitian yang intensif.

Samsuridjal yang berbicara dalam diskusi dengan pers berkaitan dengan HUT 25 tahun Roche Indonesia dan menyambut Hari AIDS Sedunia beberapa waktu lalu juga mengungkapkan obat-obat tersebut, misalnya AZT (Gla-xo, 1987), ddl/Videx (Bristol Myers Squibb, 1994), ddc/HIVID (Roche,1992), d4T/Ze-rit (Bristol Myers Squibb, 1994), Saquinavir/invirase (Roche,1995), 3TC (Glaxo-Wellcome, 1995), Indinavir/Crixivan (MSD,1996), Ritonavir (Abbot,1996), dan Nevira-pine/Viramune (Boehringer Ingelhiem, 1996). Obat-obat ini hampir semua telah tersedia di Indonesia, kecuali d4T dan Nevirapine.

Menurut Samsuridjal, pada tahun 1995 publikasi mengenai hasil pengobatan kombinasi RTI dan PI semakin banyak dan harapan penyembuhan AIDS mulai timbul.

Untuk penentuan perjalanan penyakit infeksi HIV memang memerlukan CD4 dan Viral Load. Namun, tidak perlu mencemaskan itu, sebab pemeriksaan CD4 telah lama dapat dilakukan di Indonesia, sekitar 10 tahun yang lalu.

Sedangkan pemeriksaan Viral Load HIV yang mulai popular pada tahun 1995 telah dapat dilakukan di Indonesia tahun ini. Jadi sebenarnya, diagnosis dan terapi AIDS di negeri ini sudah dapat dilaksanakan seperti yang dilakukan di Negara-negara maju.

Samsuridjal juga bersikap sama dengan masyarakat dunia umumnya, bahwa pengobatan tradisional hingga kini belum diakui mampu menyembuhkan HIV/AIDS, seperti meningkatkan nafsu makan dan mengurangi rasa nyeri… bersambung…(Awi Wiyono, tulisan ini dimuat di Harian Ekonomi Neraca, 28 Oktober 1997).

Tulisan saya ini berhasil menjadi juara pertama dalam Lomba Penulisan Artikel bertema Terobosan Penelitian dan Pengembangan Roche dalam Pengobatan AIDS yang digelar pada 27 Februari 1998 di Jakarta. Dewan juri Lomba Penulisan Artikel ini adalah Dr Sjamsuridjal Djauzi (Yayasan Pelita Ilmu), Marah Sakti Siregar (PWI Jaya), dan dr Syafrizal Muluk (PT Roche Indonesia). Saya mendapat hadiah uang tunai Rp7.000.000,



Ayo Menulis...!
Tulisan Anda
bisa juga juara.

Ikuti tips & strateginya,
klik banner di bawah ini:

Pilihan Tepat Penulis Hebat

Jika Anda bepikir bisa,
Anda bisa menjadi penulis hebat!




Langkah Maju Pengobatan HIV/AIDS (3)


Terobosan dari Roche


Banyak perusahaan farmasi di dunia yang peduli dan selalu berupaya untuk memproduksi obat HIV/AIDS. Salah satunya adalah F. Hoffman La Roche, perusahaan yang bergerak di bidang perawatan kesehatan yang berpusat di Basel Swiss. Perusahaan yang berdiri sejak 1 Oktober 1896 ini kini sedang melakukan terobosan bioteknologi dalam terapi HIV/AIDS.

Menurut Presiden Direktur Roche Indonesia, Tuygan Gocker, Roche bekerja sama dengan universitas-universitas ternama seperti Universitas Hospital Hamburg Eppenndnort, mulai melakukan riset dan penelitian, serta pengujian sejak 1986.

Hasilnya, pada tahun 1992 Hivid, obat untuk mengurangi replikasi virus HIV, berhasil diperkenalkan untuk pertama kali di Amerika Serikat.

Selain Hivid, kata Gocker, Roche juga meluncurkan serangkaian produk yang dipergunakan untuk mengatasi AIDS, antara lain Invirase, Fortovase, Cymvene, Roferon A, dan Neupogen. Dalam bidang diagnostic, Roche juga menemukan Polymerase Chain Reaction.

Ada yang lebih up to date lagi, yakni studi klinis SV-14604 yang diikuti oleh 3.485 pasien dari 22 negara. Uji coba ini dimulai pada Agustus 1994 dan berakhir Januari 1997. Hasilnya, pasien yang mendapatkan kombinasi pengobatan triple dari Invirase, Hivid, dan AZT hanya 76 yang akhirnya terkena AIDS. Sementara pasien yang hanya mendapatkan ddc dan AZT, 142 diantaranya terkena AIDS.

Hasil dari studi klinis ini akan diajukan kepada lembaga regulatori untuk memperbaharui label produk Invirase. Gocker mengungkapkan, untuk terobosan proyek AIDS ini, Roche yang berdiri di Indonesia sejak tahun 1972 ini membuat anggaran 25% dari hasil penjualan produk-produknya…bersambung…(Awi Wiyono, tulisan ini dimuat Harian Ekonomi Neraca, 28 Oktober 1997).

Tulisan saya ini berhasil menjadi juara pertama dalam Lomba Penulisan Artikel bertema Terobosan Penelitian dan Pengembangan Roche dalam Pengobatan AIDS yang digelar pada 27 Februari 1998 di Jakarta. Dewan juri Lomba Penulisan Artikel ini adalah Dr Sjamsuridjal Djauzi (Yayasan Pelita Ilmu), Marah Sakti Siregar (PWI Jaya), dan dr Syafrizal Muluk (PT Roche Indonesia). Saya mendapat hadiah uang tunai Rp7000.000,



Ayo Menulis..!
Tulisan Anda
Bisa juga juara.


Ikuti tips & strateginya,
klik banner di bawah ini:


Pilihan Tepat Penulis Hebat

Jika Anda berpikir bisa,
Anda bisa menjadi penulis hebat!


Langkah Maju Pengobatan HIV/AIDS (4)

Penyuluhan

Apa yang dilakukan Roche dan lembaga-lembaga serupa memang mulia. Misinya tidak hanya berorientasi keuntungan, tetapi juga karena kemanusiaan.

Hanya tetap kurang lengkap bila tidak diiringi dengan kegiatan yang sifatnya normatif sosial religius. Untuk itu, Kepala Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Depkes Abdul Manaf menekankan hal ini. Manurutnya, strategi nasional untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui penyuluhan juga sangat diperlukan.

Abdul Manaf mengatakan, isi penyuluhan bisa apa saja, asalkan tujuannya agar setiap orang tetap berada dan kembali pada jalan yang benar. Misalnya menyarankan setiap orang agar tidak melakukan kontak seksual secara bebas, sebab 80% penderita tertular melalui hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, khususnya dengan pengidap HIV/AIDS.

Kegiatan yang bersifat teknis pun juga dilakukan Pemerintah. Sampai saat ini pemerintah masih aktif memeriksa darah pendonor di Palang Merah Indonesia (PMI). Tujuannya agar darah yang mengandung HIV+ dan Hepatitis bisa cepat dibuang, sehingga darah yang ada di PMI aman untuk didonorkan kepada pasien yang membutuhkan.

Abdul Muluk menginformasikan, Depkes juga menyebarkan buku pedoman perawatan penderita HIV/AIDS baik untuk keluarga, petugas rumah sakit, serta cara pemakaman jenazah pengidap HIV/AIDS. Hal ini bertujuan agar segala cairan dan darah penderita tidak akan menular kepada mereka yang belum terkena virus HIV. …. Tamat…(Awi Wiyono, tulisan ini dimuat Harian Ekonomi Neraca,28 Oktober 1997).

Tulisan saya ini berhasil menjadi juara pertama dalam Lomba Penulisan Artikel bertema Terobosan Penelitian dan Pengembangan Roche dalam Pengobatan AIDS yang digelar pada 27 Februari 1998 di Jakarta. Dewan juri Lomba Penulisan Artikel ini adalah Dr Sjamsuridjal Djauzi (Yayasan Pelita Ilmu), Marah Sakti Siregar (PWI Jaya), dan dr Syafrizal Muluk (PT Roche Indonesia). Saya mendapat hadiah uang tunai Rp7000.000,



Ayo Menulis..!
Tulisan Anda
bisa juga jadi pemenang.


Ikuti tips & strateginya,
klik banner di bawah ini:


Pilihan Tepat Penulis Hebat

Jika Anda berpikir bisa,
Anda bisa menjadi penulis hebat!


Menumbuhkan Apresiasi

Hubungan anak-anak dan televisi memang belum tentu sehati. Namun keduanya hadir sebagai sebuah realitas. Akselerasi yang ditawarkan TV bersama format dan formasi acaranya berpengaruh langsung pada akselerasi tingkat kecerdasan, kreativitas, sosialisasi, dan pemaknaan nilai budaya pada diri anak.

Singkatnya, eksistensi TV telah jauh mengintervensi proses konsep diri dan pertumbuhan kepribadian anak-anak kita.

Fenomena ini dapat kita simak ketika TV cenderung menggeser peran guru. Guru tidak lagi dianggap”Dewa” pengetahuan dan sumber ilmu. Anak-anak telah terpikat dan begitu enjoy-nya belajar dengan si kotak ajaib ini. Padahal, orang tua masih sangat mengharapkan peran guru yang seutuhnya untuk mendidik putra putrinya.

Persoalannya, bisakah si layar kaca kita ini menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru secara realistis.
Sehingga anak-anak dapat berprilaku sesuai fakta sosial budaya di seklilingnya, serta tidak tertipu fatamorgana ilusi yang tidak akan pernah ada dalam kehidupan sehari-hari.

Hal inilah yang masih dan akan terus menjadi perdebatan. Di satu pihak berpendapat, perkembangan pertelevisian dewasa ini memiliki korelasi positif terhadap perkembangan pengetahuan dan informasi kepada anak.

Sisi lain mengatakan, karena format dan formasi acara TV cenderung mengobral adegan sadism, kekerasan, dan pornografi, maka media pandang dengar ini cenderung mempengaruhi anak-anak sehigga menyimpang dari tingkah laku normal, seperti konsumtif, brutal, suka kekerasan, dan tindakan negative lainnya.

Bukan tugas kita untuk mencari mana yang paling benar di antara dua pendapat yang kontradiktif ini. Tetapi yang paling bijak adalah mencari dan menemukan solusi yang bersifat teknis dan praktis, sehingga mudah direalisasikan untuk menyegah dampak negative siaran TV terhadap anak.

Sebab, di era boom TV seperti ini, suatu yang stupid dan nonsense jika orang tua melarang anak-anak untuk tidak menonton TV sebagai sumber informasi. Bisa-bisa generasi mendatang akan terbelakang.

Demikian pula, kita tidak boleh menutup mata dan menganggap sepele efek yang ditimbulkan oleh siaran TV. Sikap waspada dan jeli dalam memantau perkembangan hubungan anak dan TV sangat diperlukan.

Hal itu bertujuan untuk mendeteksi sedini mungkin gejala-gejala anak kita sudah sampai di hamparan wilayah alienasi diri. Wilayah keterasingan diri akibat dihadapkan pada perombakan tata nilai yang telah mendarah daging di masyarakat. Artinya, nilai anutan anak-anak kita akan berkomperasi, bahkan mengalami krisis, ketika berbenturan dengan nilai-nilai baru atau dianggap baru.

Sayangnya, untuk saat ini kita belum bisa mengharapkan terlalu banyak uluran tangan pihak TV untuk menemukan solusi masalah ini.(Awi Wiyono/Jawa Pos,4 Agustus 1993)


Usaha Membangun Citra Polisi

Sesaat setelah membaca dan mencermati tulisan Awaludin Djamin dan Anton Tabah tentang otonomi Polri (JP,26-27/2/1993), saya dihidangkan berita di halaman 2 Jawa Pos dengan judul yang sensasional: Lempar Petasan dan Batu ke Polisi serta Lemparkan Petasan dan Tabrak Polisi.

Berita ini melaporkan peristiwa kebrutalan penonton dan pembalap liar (trek-trekan) di Jalan Dupak, Jalan Mayjen Sungkono, Jalan Ngagel Jaya, dan Jalan Dharmawangsa Surabaya. Penonton dan pembalap liar mengganggu pengguna jalan yang melewati jalan-jalan tersebut dengan melempari petasan.

Lebih memprihatinkan adalah petugas kepolisian yang bertugas di jalan-jalan itu juga dilempari petasan, kayu, dan batu.
Bahkan di Jalan Dupak, seorang pembalap liar nekat menabrak Polantas yang berjaga di barat Pasar Turi. Dari peristiwa ini, 121 pembakar dan pengedar petasan diamankan.

Dari berita itu, saya dihadapkan dua moment yang kontradiktif. Di satu pihak, kita disibukkan permasalahan otonomi Polri, yaitu membahas bagaimana meningkatkan serta mengembalikan citra polisi yang saat ini sedang jatuh.

Bagaiman kita menumbuhkan sikap masyarakat agar selalu positive thinking terhadap polisi, mengusahakan agar segala program budaya dalam memantapkan pendekatan polisi dan masyarakat benar-benar dapat diterima.

Di pihak lain, kita disuguhi drama satu babak pelecehan dan penghinaan martabat dan citra polisi yang dilakukan oleh arek-arek Suroboyo yang terkenal keberingasannya. Saya tidak tahu mengapa mereka sampai nekat berbuat seperti itu. Mungkinkah mereka tidak perlu polisi lagi?

Tentu ini sebuah pemikiran yang konyol. Tetapi yang jelas, perbuatan arek-arek Suroboyo itu salah satu contoh kasus pelecehan martabat dan citra polisi. Tentu saja, itu sebuah tindakan yang tidak terpuji dan melanggar peraturan. Ini harus segera dihentikan!

Lalu, apakah peran otonomi Polri nanti dapat menyelesaikan masalah perbaikan citra polisi saat ini? Pasti, jawabanya bisa ya dan tidak. Dan yang jelas, saya mendukung ide otonomi Polri ini.

Artinya, otonomi Polri ini kita sepakati sebagai langkah awal bagi kemandirian Polri. Karena merupakan kemandirian, diperlukan sebuah kebebasan untuk melakukan segala kebijaksanaannya yang dianggap perlu. Misalnya masalah anggaran, personel, sistem rekrutmen, dan sistem pendidikan. Ini mungkin sesuai dengan apa yang dimaksud Awaludin Djamin sebagai pemberian sarana itu.

Dari sinilah nantinya, proses perbaikan manajemen organisasi kepolisian akan segera terealisasi. Perbaikan kualitas manajemen organisasi ini memang sangat mendesak. Sebab, selama ini yang sering mendapat sorotan dari khalayak adalah lemahnya sistem menajemen organisasi kepolisian.

Indikasinya adalah aktualitas manajerial pada strata atas tidak mampu melakukan pengendalian atau menerapkan disiplin pada para anggota yang berada di strata bawah yang secara ekonomi memang rawan. Hal ini harus segera dihilangkan, sehingga arah profesionalisme polisi kita terasa diambang pintu.

Kemudian, agar organisasi kepolisian kita menjadi kuat, proses rekrutmen personelnya harus benar-benar professional. Setiap personel polisi hasil rekrutmen tadi harus memiliki motivasi yang baik (well motivated) dan pengalaman pendidikan yang baik. Dari sudut pandang inilah otonomi Polri akan dapat mencapai sasarannya.

Namun masih ada faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya otonomi Polri, yakni faktor yang bersifat eksternal. Faktor prilaku masyarakat yang mendorong terjadinya ketidakdisiplinan polisi. Banyak pengaruh pengetahuan subjektif yang sering negative thinking terhadap performance (kinerja) polisi sehari-hari. Sebagai akibatnya, banyak terjadi terjadi penyelesaian pintas (menyogok) setiap ada masalah pelanggaran. Nah, hal ini harus dihindari.

Yang juga tidak boleh ditinggalkan adalah faktor birokrasi. Aparat birokrasi harus mempunyai persepsi yang baik terhadap masalah-masalah kamtibmas pada umumnya dan masalah kepolisian pada khususnya. (Awi Wiyono/Jawa Pos, 8 Maret 1993)


Mengantisipasi Bangkitnya Primordialisme

Tantangan yang akan dihadapi pembangunan jangka panjang tahap II akan semakin berat dan sangat kompleks. Kenyataan ini sesuai dengan sifat era modernisasi di segala bidang yang saat ini sedang dan akan terus berlangsung.

Penerapan strategi pembangunan tidak hanya tertumpu pada satu pokok bidang saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hankam. Seluruh bidang ini relative minta waktu bersamaan dalam merealisasikannya.

Bidang-bidang itu merupakan simpul-simpul yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebab antara yang satu dengan yang lainnya akan saling mempengaruhi. Dan hasil paduan yang ideal adalah terciptanya stabilitas nasional.

Namun realita tidaklah sesederhana dan semudah itu. Sering kita dihadapkan pada ketimpangan-ketimpangan yang…
memunculkan berbagai konflik. Dan karena makronya permasalahan ini, saya akan membahas tulisan ini pada masalah sosial politik saja.

Pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) yang segera kita masuki ini tidak bisa lepas dari belitan masalah klasik, tetapi selalu relevan dengan masalah-masalah pembangunan nasional, yakni masalah disparitas, kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Pemerataan masih menjadi persoalan krusial. Walaupun persoalan ini di era 1970-an juga ramai didiskusikan, namun wujud realisasinya belum menggembirakan. Pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya belum sesuai dengan konsep yang ada di GBHN.

Sebagai contoh, adanya produk domestik bruto Indonesia yang menumpuk pada segelintir orang. Sehingga tingginya angka GNP yang sering ditayangkan TVRI menjelang atau sesudah berita, belum bisa menjadi kartu as bagi terjaminnya kesejahteraan setiap lapisan masyarakat.

Dr Sri Bintang Pamungkas, dari Komisi APBN DPR Pusat mengungkapkan, 50 orang yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulya menguasai perputaran barang dan jasa kurang lebih 83% dari total nilai APBN kita.

Jumlah omset yang menumpuk sekitar Rp52 triliun. Bila diasumsikan bahwa produk domestik bruto Indonesia sekitar Rp216 triliun, berarti 50 orang pengusaha besar ini menguasai pangsa nasional sebesar 26%. (Tempo No.3 Tahun XXIII, 20 Maret 1993).

Dengan berefrensi dari data ungkapan doctor lulusan Iowa State University USA itu, kita dengan gamblang mendapatkan gambaran betapa besar kemungkinan terjadinya disparitas sosial ekonomi masyarakat.

Kesenjangan sosial ini akan terjadi antara sekelompok kecil minoritas penguasa sumber ekonomi dan 27 juta rakyat yang kesejahteraannya sangat menggenaskan. Belum jika dikaitkan dengan berpuluh juta rakyat yang telah sedikit merasakan kesejahteraan, tetapi masih rawan akan kemiskinan. Diperlengkap dengan semakin membengkaknya pengangguran, baik yang kentara maupun tidak. Tentu hal ini menjadi dilema akut PJPT II.

Persoalannya, seperti peringatan Clifford Gerrtz melalui tulisannya: The Integrative Revolution: Primordial Sentimen and Civil Politics in The New State, bahwa ketimpangan yang serius yang dialami negara-negara baru, termasuk Indonesia, akan memperburuk proses integrasi bangsa.

Semakin parah bila ikatan-ikatan primordial bermunculan. Persoalan kesukuan, ras, bahasa, kedaerahan, agama, kebiasaan, atau ikatan-ikatan primordial lainnya akan menjadi biang keladi mandeknya pembangunan. Sebab, tidak mustahil kondisi itu akan menciptakan adanya jarak antar suku (ethnic distance) atau prasangka sosial (social prejudice). Padahal unsur komunikasi dalam proses pembangunan mutlak diperlukan.

Apakah dalam PJPT II nanti Indonesia akan terwabahi persoalan krusial ini? Jawabnya bisa ya, jika tidak sedini mungkin diantisipasi bangkitnya primordialisme. Sebab semakin modern sebuah Negara, semakin mempunyai kecenderungan membangkitkan primordialisme.

Dalam masyarakat modern, persoalan persaingan loyalitas adalah hal uang lumrah. Baik itu yang berdimensi horizontal (loyalitas kepada bangsa sebagai suatu kesatuan) maupun yang berdimensi vertical (kesetiaan terhadap kelas, partai, kelompok kerja profesi, dsb). Yang jelas, bila kedua dimensi loyalitas itu sampai pada taraf konflik akan ada konsekuensi yang tidak mengenakan, yaitu jika tidak terancamnya integrasi bangsa, paling buruk terjadi revolusi.

Karena itu, setelah mengetahui bahwa modernisasi lebih cenderung membangkitkan primordialisme, bangsa Indonesia yang hingga saat ini belum final dalam proses integrasi bangsa dan sekaligus disibukan oleh masalah internasionalisasi, harus menciptakan kiat untuk mengatasi dilema krusial ini.

Adapun salah satu alternative yang harus diambil adalah melakukan suatu perubahan dan pembaruan terhadap sumber-sumber kekuatan bangsa kita. Sumber kekuatan ini salah satunya adalah kualitas professional SDM harus benar-benar dijalankan.

Caranya, mempertahankan dan meningkatkan komitmen kultural kita untuk hidup sebagai bangsa yang utuh, yang berorientasi pada kemajuan bersama lewat proses berencana secara rasional, adil, dan beradab. Sehingga, dalam PJPT II ini Indonesia tetap jaya. Dan pemerataan bukanlah suatu yang utopia!(Awi Wiyono/Jawa Pos, Maret 1993)


Bahasa Indonesia Makin Dinamis

Masalah pokok yang sering menjadi polemik dalam bahasa Indonesia adalah pengaruh atau masuknya kata-kata asing dan daerah. Kenyataan ini dapat disimak dari lomba kritik bahasa yang diselenggarakan oleh Jawa Pos.

Padahal, menurut Goreys Keraf, pakar bahasa dari UI, penyerapan bahasa tertentu, baik bahasa asing maupun daerah, tidak perlu lagi dicurigai. Kita hendaknya tidak terlalu mencemaskan adanya fenomena itu.

Proses penyerapan itu kita anggap sebagai
upaya yang justru bernilai positif dan memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Asal proses pengambilan kata asing dan daerah harus disesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia.

Saya setuju dengan pedapat itu. Sebab, sedikit banyak pendapat ini telah berhasil mengeliminasi perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Selain itu, keberadaan bahasa Indonesia tidaklah statis, tetapi semakin dinamis.

Bahasa Indonesia akan selalu berkembang seiring dengan berputarnya waktu. Berarti sangat rentan dengan pengaruh-pengaruh yang ada.

Namun sayang, Gorys Keraf dalam tulisannya yang dimuat Jawa Pos. 16 Oktober 1992, itu hanya melihat perkembangan bahasa Indonesia dari perspektif kebahasaan. Sehingga wajar bila tidak menemui perbedaan pendapat yang cukup berarti.

Yang masih menjadi ganjalan di hati saya, benarkah pengaruh bahasa asing dan daerah tidak berdampak sosial politik? Pembahasan dari kacamata sosial politik inilah yang ingin saya utarakan.

Bahasa, sejauh sepengetahuan saya, senantiasa erat kaitannya dengan indoktrinasi. Artinya, dalam bahasa itu tidak bebas nilai. Melainkan mengandung nilai-nilai tertentu yang pengaruhnya dapat mengubah sikap, atau yang lebih jauh lagi menimbulkan mentalitas baru bagi pemakainya.

Maka tidaklah mengherankan bila orang yang berhasa Indonesia dengan gaya Jakarta, pola sikap, kepribadian, dan mentalitasnya seperti orang Jakarta. Demikian juga, bila nantinya pengaruh bahasa asing itu sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia, tidak mustahil budaya luar/asing yang sering tidak cocok dengan kepribadian kita akan hidup subur. Saya kira hal ini adalah sesuatu yang sangat membahayakan. Sebab bisa mengendorkan nasionalisme.

Fenomena itu didukung oleh pendapat Peitra Widadi, bahwa bahasa Indonesia gaya Jakarta itu telah merasuk jauh menjadi bahasa ibu. Kenyataan ini menunjukan bahwa tuntutan masyarakat untuk berbahasa Indonesia lebih maju.

Saya juga setuju dengan pendapat itu. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah latar belakang apa yang membuat bahasa Indonesia gaya Jakarta begitu digandrungi?

Pada dasarnya, bahasa itu juga mempunyai sertifikasi sosial. Artinya, ada tingkat tinggi rendahnya di mata masyarakat. Nah, semua itu bergantung pada siapa orang yang sering menggunakannya.

Kali ini bahasa Indonesia gaya Jakarta banyak dipakai oleh golongan kelas menengah ke atas. Atas dasar inilah, maka masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut ada keinginan untuk masuk ke dalam galongan kelas menengah atas tadi.

Singkatnya, berbahasa demi prestise masih sulit kita hilangkan. Lebih parah lagi, bila bahasa yang memiliki prestise tinggi telah bergeser ke model bahasa asing, misalnya bahasa Inggris yag telah menjadi bahasa kedua negeri ini.

Dengan kerangka acuan pernyataan di atas, tidak mustahil bahasa Indonesia akan bergoyang ke kiri dank ke kanan mengikuti nasionalisme yang semakin sulit kita deteksi juntrungnya. Sebab, nasionalisme sekarang itu berada pada dua tren yang saling bertentangan, yakni antara internasionalisme dan primordialisme.

Meski demikian, tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi. Kita tidak menginginkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia luntur. Karena itulah, perlu adanya usaha untuk mengantisipasi adanya fenomena itu. Dan salah satunya adalah dengan meningkatkan nasionalisme kita.

Nasionalisme itu mengandung unsur pengertian intelektual, emosional, dan kehendak batin. Nasionalisme mengadung kesadaran jiwa. Kesadaran untuk mencintai, loyal, taat, rasa abdi kepada bangsa.

Wujud nyatanya adalah menguri-uri kebudayaan bangsa dan melestarikan cagar budaya, termasuk di dalamnya mencintai dan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar (Awi Wiyono/Jawa Pos, 26 Oktober 1992).


TVRI Harus Lebih Fleksibel

Penampilan TVRI senantiasa rentan bagi tanggapan masyarakat, baik dalam bentuk kritik, saran,maupun pujian. Semuanya berdampak positif. Terlihat, dalam usianya yang ke-30 tahun, TVRI telah melangkah lebih maju dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Paket-paket siaran yang disajikan telah membuat pemirsa tak kuasa mengalihkan ke saluran atau programa televisi lain. TVRI telah menjadi media alternative bagi masyarakat di negeri tercinta ini.

Sesuatu yang patut disyukuri. Namun bersyukur bukan berarti berpuas diri. Tetapi harus berusaha memacu untuk tampil lebih
baik lagi. Apabila menengok problema yang sedang dihadapi saat ini, TVRI tidak pantas bersantai-santai. Persaingan yang dibungkus dengan terminologi kemitraan dengan televisi semakin sengit. Terobosan-terobosan yang dilakukan oleh TV swasta bisa menjadi ancaman TVRI.

Saat ini paket siaran yang menjadi primadona TVRI juga telah diproduksi oleh TV swasta. Sinetron yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, dan TPI tidak kalah bagus dibandingkan dengan yang disajikan oleh TVRI. Ini baru dua TV swasta. Belum jika TV swasta-TV swasta di beberapa daerah terealisasi. Ditambah dengan semakin menjamurnya antenna parabola yang memungkinkan menangkap siaran dari Negara lain. Untuk menjaga eksistensi dirinya, TVRI harus mampu mengantisipasi fenomena ini.

Mencari dan membuat pemirsa untuk tidak meninggalkan program siaran yang disajikan adalah menjadi masalah pokok dalam dunia pertelevisian. Key succesfull factor-nya terdapat dalam kualitas paket siaran yang ditayangkan. Maka setiap TV harus meningkatkan kualitas program siarannya. Dan, syarat pokok untuk bisa meningkatkan kualitas acaranya itu tadi perlu dana. Faktor ini yag sering menjadi masalah.

Masalah dana bagi TV swasta tidak terlalu memusingkan. Sebagai lembaga yang berorientasi komersial, mereka cukup mengandalkan iklan-iklan yang masuk pada dirinya. Tetapi, bagi TVRI adalah masalah besar. Selain tidak menerima iklan, anggaran dari Negara masih dari mencukupi.

Payahnya lagi, dalam mengumpulkan pajak/iuran TV sering kali tidak beres. Ingat kasus PT Mekatama Raya. Akhirnya, penanganan dipegang sendiri oleh Yayasan TVRI. Ini pun masih timbul keraguan akan keberhasilannya.

Bercermin dari persoalan itu, ada benarnya uraian Bagong Suyanto. Ia mengatakan, posisi TVRI di simpang jalan, karena TVRI dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama membawa konskuensi yang kurang mengenakan. Yakni, TVRI tetap mempertahankan atau bahkan meningkat kualitas program siarannya seperti selama ini dilakukan atau menurunkan mutu siarannya yang berate menggunakan cara lama, yang secara umum didominasi dengan paket-paket monoton, sifatnya top down, dan hanya menjadi corong pemerintah (JP,26/08/92).

Kejelian dan kecermatan dalam melakukan pilihan sangat diperlukan. Karena keduanya membawa resiko, tidak ada jeleknya bila melakukan kalkulasi, yakni menghitung untung rugi jika memilih satu diantara dua tadi.

Menurut hemat penulis, dengan pertimbangan kondisi pertelevisian di Indonesia serta mengevaluasi keberhasilan TVRI dalam memikat pemirsa selama ini, TVRI akan lebih beruntung jika tetap mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas acara-acaranya.

Sebab selama ini, meski diselimuti permasalahan dana yang tidak kunjung reda, ternyata TVRI masih mampu berprestasi. Karena itu, jika TVRI kembali pada cara lama, berarti menggali kuburannya sendiri, TVRI siap mati.

Tidak semudah yang kita bayangkan memang. Masih terlalu banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi TV milik pemerintah ini. Salah satunya, seperti yang telah disinggung oleh Eduard Depari dan Effendi Gazali tentang status TVRI yang masih membingungkan.

Saat ini TVRI sebagai yayasan di samping sebagai direktorat. Menurut uraian pakar komunikasi ini, TVRI akan lebih professional jika dalam bentuk yayasan. Sebab, peluang pengoperasiannya lebih besar. Bisa mengelola sumber keuangannya sendiri, serta dapat memperhitungkan rekrutmen personalia yang pas (JP/27/08/92).

Bila kita intepretasikan pernyataan itu bahwa TVRI harus diberi kebebasan dalam mengelola paket-paket acaranya, manajemen, dan keuangannya. TVRI berubah mnjadi yayasan murni. Berarti juga menjadi lembaga milik swasta. Penulis kira, itu semua masih menjadi impian belaka.(Awi Wiyono/Jawa Pos,2 September 1992)


Hubungan RI-Australia Pasca Peristiwa Dili:

Tidak Akan Ada Perubahan

Hubungan Indonesia-Australia sering diwarnai peristiwa-peristiwa yang cukup mendapat sorotan khalayak. Peristiwa pembelotan tiga pemain sepak bola dari Dili di Australia beberapa waktu lalu masih hangat dalam ingatan kita. Semua masalah tadi dapat diselesaikan dengan terbuka sehingga hubungan yang telah berjalan baik tidak terganggu.

Tetapi atas peristiwa 12 November 1991 di Dili, mampukah kedua belah pihak menyelesaikannya dengan tidak merusak keakraban selama ini?
Tentu saja ini bergantung kepiawaian para pemimpin dalam mengambil kebijaksanaan untuk memecahkan masalah ini.

Mengacu pada hubungan yang terjalin selama ini, Indonesia-Australia tetap akan menjaga keakraban yang telah mereka ciptakan. Memang tidak mudah dan pasti akan menemui kendala-kendala, baik dari warga masyarakat sendiri maupun dari pihak-pihak tertentu yang menginginkan kehancuran Negara Indonesia ataupun Australia.

Kedua Negara juga semakin diikat berkembangnya kesamaan interes dalam politik luar negeri. Hubungan ekonomi dan perdagangan yang bagus akan memberikan dsar yang kuat bagi hubungan politik antar pemerintah. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya persetujuan pajak ganda yang dicapai Indonesia-Australia serta Perjanjian Celah Timur.

Wilayah baru dalam hubungan kedua pemerintahan juga terjadi pada medan multirateral. Kedua pemerintahan merasakan problem yang sama pada kebijaksanaan luar negerinya, terutama mengenai perdagangan internasional. Indonesia maupun Australia sama-sama menerapkan kebijakan proteksionisme di masa lalu. Sekarang, dengan semakin besarnya perubahan dalam perkembangan ekonomi dunia, keduanya berusaha meliberalkan rezim perdagangan internasionalnya.

Kedua Negara semakin membutuhkan tempat sebagai pemasaran barang barang-barang manufakturnya, seperti tekstil, pakaian, footwear. Juga sebagai lahan ekspor hasil-hasil pertanian. Semua itu bertujuan saling melengkapi dan mencukupi bila salah satu di antaranya tidak mempunyai produktivitas.

Melihat sudah serasinya hubungan Indonesia-Australia, sungguh sangat disayangkan bila pada pasca peristiwa Dili akan memunculkan persepsi yang berbeda-beda pula. Berbagai pendapat bersimpang siur. Sebab, kebanyakan orang yang berpendapat itu melihat secara subjektif. Apalagi kalau acuan yang dipakai menggunakan data-data yang tidak mempunyai validitas tinggi, hal itu akan memperburuk suasana.

Akhirnya,bila itu menjadi satu pendapat dalam masyarakat, yang biasa disebut pendapat umum, ini mengakibatkan keretakan hubungan karena tindakan agresif pada masyarakat.

Perlu diketahui bahwa kekuatan yang mampu memaksa suatu pemerintah agar berdamai atau tidak adalah kekuatan pendapat umum. Citra pendapat umum itu sebagai suatu kekuatan pemersatu dan pengarah yang mampu menolak setiap kepentingan yang ada atau pandangan yang bertentangan.

Memang pendapat umum dapat dimanipulasikan setiap saat oleh kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang diletakan secara strategis.

Maka, kegiatan lobbying yang dilakukan secara terus-menerus akan merupakan kekuatan yang luar biasa, tetapi juga merupakan suatu yang peka bagi kasak kusuk (machination) kelompok-kelompok yang mempunyai pengaruh khusus. Bila sudah terjadi demikian, dapat dipastikan bagaimana sikap umum terhadap peristiwa yang terkait.

Mereka akan menuntut pemutusan hubungan. Apalagi keadaan sudah termanipulasi oleh kelompok yang anti terhadap pemerintah yang berkuasa, kekacauanlah yang akan terjadi.

Dengan kerangkan acuan seperti itulah Indonesia-Australia harus bersikap ekstra hati-hati dan membuat keputusan sebijaksana mungkin.

Bila kita amati, pada umumny orang yang mempunyai perhatian terhadap hubungan internasional adalah sekelompok kecil minoritas dari rakyat nasional.

Sehingga, stabilitas dalam pendapat dan sikap umum merupakan hasil kolektif stabilitas structural perorangan. Dalam hubungan Indonesia-Australia pasca peristiwa Dili, kedua pemerintah harus turun tangan memanipulasi pendapat umum. Dengan demikian, tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hubungan yang terjalin serasi akan tetap berlangsung. (Awi Wiyono/Jawa Pos,20 Desember 1991).


Kebudayaan Sebagai Wahana Komunikasi

Bila suatu bangsa terbelakang itu dikarenakan inferioritas nilainya dalam berhadapan dengan tantangan zaman tidak siap atau tidak memadainya fungsi kebudayaan sebagai sistem nilai untuk menghadapi modernitas, bisa diartikan bahwa kebudayaan itu sebagai alat untuk mencapai kemajuan.

Statment di atas adalah salah satu penilaian terhadap kebudayaan. Tetapi, penilaian itu ditolak
oleh Mochtar Pabotinggi dalam Kebudayaan Bukanlah Terdakwa: kita sudah waktunya menanggalkan segala macam tesis yang memperlakukan kebudayaan sebagai satu-satunya variable independen bagi keterbelakangan atau kemajuan bangsa. Eskapisme intelektual seperti itu tidak akan menguntungkan siapa pun, sebab ia tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kebudayaan adalah suatu dinamik yang tiada hentinya berubah, dan mencari alternatif-alternatif baru. Apalagi kalau kita berbicara tentang kebudayaan yang memang telah berkiprah secara global. Terutama, dalam revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang kini sedang berlangsung.

Yang menjadi persoalan, sudahkah kita siap dan mampu menerima arus informasi dari berbagai bangsa asing. Untuk keluarga sekarang bisa mendapatkan informasi dari berbagai Negara dengan hanya memutar-mutar saluran televisi yang berantena parabola. Padahal, di dalam informasi yang diterimanya mengandung nilai-nilai asing yang dengan pasti mengandung sifat subversive.Sebenarnya, tidak perlu dikhawatirkan bila mereka bisa memfilternya, sehingga sistem nilai-nilai asing tadi tidak mencekoki jiwa kita.

Kita tidak mau diatur oleh kebudayaan, tetapi kitalah yang seharusnya mengatur kebudayaan. Bukan kebudayaan yang bisa menyebabkan maju mundurnya suatu bangsa, tetapi yang menciptakan kebudayaan itu sendirilah yang menentukan maju mundurnya suatu bangsa.

Demikian juga dengan bangsa Indonesia, harus menciptakan kebudayaan yang cocok dengan kondisinya. Dalam menciptakan inilah akan muncul berbagai macam pandangan tentang kebudayaan nasional yang diinginkan.

Pada tahun tiga puluhan juga terjadi pertentangan pandangan, yakni erat sangkut pautnya dengan jiwa atau nation Indonesia. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur kebudayaan yang kini merupakan kebudayaan universal, yakni kebudayaan barat.

Unsur-unsur kebudayaan Barat yang terpenting untuk mengkreasikan kebudayaan Indonesia baru adalah teknologi, orientasi ekonomi, keterampilan berorganisasi secara luas dan ilmu pengetahuan.

Tentu saja pandangan ini dianggap terlalu ekstrem berorientasi ke materialism, intelektualisme, dan individualism. Orang yang mengecap demikian itu yang mempunyai pandangan bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Timur yang harus mementingkan kerohanian, perasaan, dan gotong royong. Sehingga tidak memutuskan kontinyuitas sejarahnya untuk dapat masuk ke zaman Indonesia baru.

Orang Indonesia harus mempelajari sejarah dan sejarah kebudayaannya, karena dengan mempelajari kebudayaan masa lalu ia akan dapat membangun kebudayaan baru.

Sebernarnya terlepas dari dua masalah tadi, kita masih disibukan oleh sikap-sikap yang berorientasi primordial yang kuat, dalam hal ini sama dengan orientasi subkultur yang kuat. Loyalitas primordial biasanya mengalahkan kepentingan nasional.

Dari keterangan di atas akhirnya kita tidak bisa memungkiri bahwa pada akhirnya kebudayaan kita adalah kebudayaan baur (blurred culture). Yakni, kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya sub budaya Jawa, adalah adonan kebudayaan-kebudayaan dunia.

Sekarang tinggal bagaimana kita mengomunikasikan semua itu kepada masyarakat Indonesia yang beranekaragam tadi. Salah satu jalannya adalah kebudayaan Indonesia kita fungsikan sebagai wahana komunikasi.

Bukankah unsur-unsurnya telah ada di dalam Negara kita? Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, pengelolaan gaya Indonesia yakni di bidang politik prinsip demokrasi harus dijalankan sungguh-sungguh. Di bidang ekonomi, prinsip koperasi harus diberi kedudukan sentral, bukan peripheral. (Awi Wiyono/Jawa Pos, 18 Oktober 1991)